Cerpen: Malam itu Adi, Erdi, Lutfi dan Faton masuk kesebuah tempat yang sangat ramai sekali oleh anak-anak dan remaja.
“Bola
bang!” kata Faton.
“Sisa
nomor lima”
“Nggak
apa-apa bang, Cuma dua orang yang main” sahut Lutfi.
“Iya,
tunggu disamna” kata pria yang menjaga disitu.
Ditempat
itu ramai sekali, peminat bola semua, sorak penonton dari speker riuh memekakan
telinga terlebih dari sepuluh kursi yang tersedia semuanya main bola. Lutfi dan
Faton memegang stik yang siap main bola, adi dan Erdy hanya menyaksikan layar
milik Faton yang berduet dengan Lutfi. Dua remaja yang masih kelas dua SMA tersebut
memang PS mania alias suka main Play Station. Jika mereka berdua tidak
memiliki kegiatan mereka berdua lebih memilih menghabiskan waktunya main PS terutama
pada hari minggu. Sedangkan Adi dan Erdi juga senang main PS tetapi tidak
seperti Lutfi dan Faton yang sudah jadi PS Mania.
Adi
dan Erdi yang tidak ikut main game tersebut juga terlibat dalam sorak teriak
ketika bola menembus dalam gawang meskipun berupa game. Permainan mereka
semakin seru setelah gol demi gol tercipta oleh masing-masing pemain yaitu
Lutfi dan Faton.
Setelah
puas bermain selama dua jam mereka memutuskan pulang karena banyak pengunjung
sudah pulang. Mereka semua sepakat untuk pulang karena dianggap cukup serta
mata sudah mengantuk.
Seratus
meter dari rumah om Karman tempat mereka menginap, pikiran Lutfi dirasuki oleh
ide makan soto diseberang jalan, karena ide tersebut dianggap cemerlang maka
tiga orang temanya setuju untuk makan Soto.
“Soto
pak, empat”
“Iya,
tunggu sebentar” kata pedagang tersebut.
Setelah
menunggu hamper lima menit, ayam goring, telur rebus yang dipotong kecil bumbu
koya menutupi nasi dan soto siap disantap oleh empat sekawan tersebut.
“Pak
ada cabe rawit, nggak?” pinta Adi
“Tunggu
sebentar dek”
“Pak,
harga kerupuk ini berapa?” Tanya Lutfi.
“Ini
cabenya dan kerupuknya satu, 500 rupiah. Satu-satu ya, ngomongnya”
“Galak
nih” sahut Erdi, penjual soto itu hanya senyum terpaksa.
Saat
mereka berempat sedang menikmati sotonya, mereka dibuat heran dengan sosok pria
kurus sedang marah diseberang jalan sana. Entah marah pada siapa, mereka
berempat tanpa mengomentari kejadian tersebut karena melihat penampilan dan
tampang pria yang marah-marah sambil berteriak itu sepertinya orang tidak
waras. Rambutnya acak-acakan tanda tidak pernah tersentuh air apalagi shampoo.
Bajunya kusam tanda bahwa orang itu tidak pernah ganti baju. Gembel banget.
Setelah
membayar semua, mereka berempat kembali pulang ke rumah om Karman dengan
berjalan kaki. Rumah om Karman adalah tempat persinggahan Faton ketika pergi ke
kota Malang. Faton adalah keponakannya om Karman, sementara Adi, Erdi dan Lutfi
hanya pengikut saja. Mereka sangat akrab dengan om Karman karena faton sering
megajak mereka bertiga kerumah pamanya itu. Kadang mereka berempat kerumah om
Karman diakhir pecan, setiap sabtu sore mereka pulang ke rumahnya di Kepanjen
kawasan Malang selatan. Dalam sebulan mereka bisa sampai satu sampai dua kali
kerumah om Karman.
Sejak
kelas satu SMA mereka berteman hingga sekarang sampai satu sekolah menyebut
mereka Boy Band School oleh teman-temannya karena selain tampan mereka selalu
kompak dalam bernyanyi ketika ada Pensi di sekolah ataupun dalam kegiatan lain.
Pokoknya mereka School Idol deh, kata sisiwi-siswi.
Saat
mereka asyik berjalan menuju rumah om Karman jam sebelas malam tiba-tiba ada
seorang pria memanggil, ternyata pria yang memanggil meraka adalah pria yang
menakutkan dan menjijikan.
“Saya?”
tanya Erdi menanggapi panggilan orang yang yang memanggilnya itu.
Sebelum
mendekati pemuda itu Faton memberi tahu pada teman-temannya.
“Kata
om Karman, nama orang itu Abeng, pria itu agak tidak waras”
“Diakan
pria tadi yang marah-marah saat kita makan soto!” sahut Adi
“Kalian
dengar nggak? kesini cepat” pria itu kembali memanggil.
“Maaf
bang, kita mau pulang. Sudah malam” Adi mencoba memberi alasan karena malas
meladeni orang yang sakit jiwa.
“Kalian
tinggal dimana?” tanya Abeng yang akhrinya dia sendiri yang mendekat.
“Tinggal
dirumah om Karman” jawab Faton.
“Sekarang
aku punya masalah, aku butuh bentuan kalian. Minta uangnya 200 ribu besok pagi saya ganti” paksa Abeng.
“Dasar
orang Gila’ bisik Adi pada Erdi.
“Kita
tidak punya uang” tambah Erdi seperti membentak.
“Oh,
kalian nggak punya uang? Bohong!” Abeng juga sedikit emosi.
“Oke,
kami akan ambil uang. Kamu tunggu disini” Adi berusaha membohongi Abeng, agar
bisa dengan cepat kabur dari cegatan Abeng yang Oon itu.
Tetapi
yang dilakukan Abeng malah brutal, dia merampas HP Lutfi yang baru saja dibeli
seminggu yang lalu, Hp milik Lutfi itu adalah type terbaru saat ini.
“Oke…oke…saya
akan beri kamu uang asalkan Hp itu cepat kembalikan” kali ini Erdi merasa khawatir
Hp milik Lutfi tidak dikembalikan, kedua Abeng mengeluarkan sebilah pisau kecil
dari pinggangnya setelah merampas Hp tersebut.
Khawatir
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada malam yang sepi itu Erdi dan Faton pergi
ke rumah om Karman dengan alasan mengambil uang sementara Adi dan Lutfi masih
berdiam ditempat itu untuk mengawasi Abeng agar tidak kabur.
Akhirnya
Faton dan Erdi berhasil mengumpulkan uang sebesar 150 ribu sebagai umpanan pada
Abeng.
“Ton,
kamu bawa batu untuk jaga-jaga”
“Batu?”
“Iya,
cepat cari dibelakang sana” akhirnya menemukan batu yang cukup besar.
Saat
mereka sedang sibuk sendiri tiba-tiba om Karman muncul dari kamarnya sambil
bertanya kapada Faton dan Erdi yang ada diruang tengah. Mereka berdua
menceritakan kejadian sebenarnya pada om Karman, namun mereka merahasiakan
kalau Abeng mengeluarkan sebilah pisau karena menurutnya tidak mau merepotkan
dan bercampur dalam masalah ini. Meereka mau menyelesaikan sendiri, apalagi dia
hanya sebagai tamu diwilayah itu.
“Hati-hati
saja, Abeng itu gila” ujar om Karman.
“Iya
om, kita pasti bisa” kata Erdi
“Masa
kalian kalah dengan orang gila sendirian. Kalian berempat, waras lagi”
Mereka
berdua menuju jalan raya dimana Adi dan Lutfi menunggu cemas sementara Abeng berdiam
dengan ketidakwarasannya. Rumah om Karman berjarak sekitar 20 meter dari jalan
raya, ketika berada dimuka gang, Faton dan Erdi terkejut saat melihat Abeng
tertawa terbahak-bahak sambil mengisap rokok.
Mereka
berdua menghampiri Adi dan Lutfi yang ternyata Hp itu sudah ditangannya.
“Hem,
dasar Oon!” kata Erdi.
“Ayo
kita pulang” ajak Erdi pada Adi dan Lutfi.
“Maksih
ya dek rokoknya. Besok-besok kesini lagi atau singgah ke rumah didepan wartel
itu” ujar Abeng seolah tidak pernah terjadi apa-apa karena ketikwaranya itu dia
menjadi sedikit tenang.
Adi,
Lurfi, Faton dan Erdi segera pulang kerumahnya om Karman karena sudah larut
malam.
“Untung
tadi Adi mengeluarkan rokok” cerita Lutfi pada kedua temannya.
“Kok
bisa begitu?” tanya Erdi penasaran. Kemudian Adi menjawab.
“Begini,
ketika kalian pergi, aku mengeluarkan rokok terus Abeng minta satu batang,
ya…aku kasi dua batang. Kemudian Hp Lutfi diletakan disampingnya…”
“Aku
ambil deh! Dikira akan marah ternyata dia ketawa ngakak” potong Lutfi. Mereka
berempat tertawa dengan tingkah Abeng yang sakit jiwa itu.
“Dek,
rokoknya habis. Mana uangnya?”
Mereka
berempat terkejut melihat Abeng bersuara debelakngnya.
“Ini,
aku punya rokok ambil semua. Uangnya kami ambil dulu” komentar Adi.
Tatapan
Abeng tampak lain, pria jangkung itu seperti singa yang akan menerkam anak
rusa, matanya merah. Dengan berani Lutfi menyerahkan rokok dari Adi itu pada
Abeng walaupun dengan rasa gugup. Adi danToni mundur selangkah untuk siap-siap
lari sedangkan Erdi masih diposisi semula.
Rokok
dari Lutfi sudah ditangan Abeng, kemudian pria berkulit gelap tak waras
tersebut menarik tangan Lutfi dan mengeluarkan pisau dari pinggangnya.
Menyaksikan reaksi bahaya itu, Erdi berusaha menolong Lutfi namun kalah cepat,
Lutfi sudah terluka terkena jilatan pisau Abeng. Lengan Lutfi berdarah oleh
goresan pisau lelaki gila itu segara ditolong oleh Adi dan Faton sementara Erdi
mengejar Abeng yang berusaha lari sambil memgang sebuah batu yang tadi
dibawanya.
Abengterus
berlari sekencang-kencangnya sementara Erdi berusaha melemparkan batu yang
ditangannya pada Abeng. Saat dalam pengejaran dipinggir jalan Abeng berbelok
dan menyebrangi jalan sambil terus berlari, tubuhnya terhempas ditabrak truk
pengangkut semen. Aneh memang ternyata Abeng bangkit dan kembali berlari sekencang-kencangnya
dengan sebungkus rokok yang masih ditangannya, pria sinting itu tidak mengalami
sedikit luka atau cedera pada tubuhnya meski ditabrak oleh truk yang sedang
melaju. Erdi, Adi, Faton, Lutfi serta
sopir truk dibuat takjub atas peristiwa yang baru saja terjadi pada Abeng.
0 komentar:
Posting Komentar