Rabu, 28 April 2010 | By: Rahman Raden

Malam Pengantin Baru

CERPEN: Acara pesta pernikahanku sudah selesai, para undangan sudah pulang kerrumahnya masing-masing. Pernikahan yang menurut mereka penuh cinta telah terlaksana dan menjadi catatan penting dalam kehidupan. Rasa lelah menetubuhiku, bayangkan hamper tujuh jam aku duduk dikursi pelaminan bersanding dengan seorang pria pilihan orang tuaku. Dia Jamaludin, pria yang tak pernah hadir dalam hatiku.
Rasa canggung menyelimutiku saat mas Jamal begitu aku sebut, merebahkan tubuhnya didekatku. Aku yang lebih dulu berada diatas ranjang meresa tidak suka saat dia membelai rambutku. Akhirnya aku bangkit memilih duduj dikursi kamarku, karena aku masih belum bisa mengontrol diri.
“Kenapa dik Mia?” tanya mas Jamal heran.
“Aku nggak apa-apa, Cuma capek aja” kilahku untuk tidak mengecewakan suamiku itu.
“Aku tahu kamu pasti malu, atau mungkin ada hal lain?. Karena sebelumnya dik Mia belum pernah sekamar dengan seorang pria” mendengar ucapan mas Jamal aku hanya diam seolah mas Jamal tidak didepanku.
Maaf mas Jamal walaupun kita sekarang aku menjadi yang halal untukmu, tapi aku masih belum bisa mencintai sepenuhnya karena dirimu tidak pernah hadir sebelumnya dalam kehidupanku, hatiku berkata yang tidak sepetutnya terucap dari seorang istri sepertiku, Astaghfirlahiladzim.
Aku menikah dengan mas Jamal karena orang tuaku sangat memaksa sekali. Mereka beralasan usia 27 tahun bagi seorang wanita sepertiku sudah sepatutnya untuk segera menikah. Jujur aku tidak mencintai mas jamal, namun dia selalu datang hampir setiap malam untuk meyakinkan Bapak dan Ibu bahwa dia berharap mau menjadi istrinya.
Aku selalu menolak karena aku punya pilihan lain yaitu bang Sardi, pria yang menjadi tambatan hatiku sejak lama.
“Nduk, kamu toh sudah waktunya nikah, apalagi nak Jamal iku baik”
“Nggak, aku nggak mau nikah”
“apo sing kamu harap dari Sardi, dia itu hanya TKI yang nggak bisa menjamin masa depanmu nanti. Iya toh” kali ini bapakku kembali terang-terangan bicara soal bang Sardi.
“Pak, aku dan bang Sardi sudah empat tahun pacaran. Pokoknya Mia nggak mau nikah sekarang”
“Mia, kalau Sardi itu cinta tentu sejak dulu nikahi kamu. Eh, malah jadi TKI, illegal lagi”
“Bapak sok tahu” tambahku sambil beranjak masuk ke kamar.
Bang Sardi pernah berjanji kalau sekembalinya dari perantauan keluar negeri dia akan segera melamar dan menikahiku. Setelah tiga tahun bang Sardi ada dinegeri orang, mas Jamal hadir berusaha mengisi kekosongan hatiku. Dengan berbekal akhlak yang baik serta latar belakang yang baik pula dia berusaha meyakinkan orang tuaku, pada akhirnya bapak dan ibuku setuju. Menerima menjadi menantunya alias menjadi suamiku.
“Kalau, kamu kawin dengan Sardi, hidup kamu nggak bakalan enak yang ada nanti malah hidup melarat”
“Itu semua bukan tolak ukurnya, walaupun melarat asal aku dan bang Sardi bahagia jadi keluarga sakinah. Aku tahu kalau suatu hari aku menjadi istri mas Jamal, akan enak karena mas jamal orang berada. Harta bukan jaminan bahagia”
Aku merasa tersiksa, jiwaku galau ketika aku orang tuaku memaksa menikah. Ingin sekali rasanya aku menyusul bang Sardi atau lari kemana saja dari rumah tetapi aku tidak mau mencemari nama baik keluarga serta nama baikku. Orang kampung sangat menjaga harga diri. Biarlah aku tetap dirumah saja tapi jangan menerima pinangan mas jamal.
Aku bisa mengakui kalau mas Jamal memiliki banyak memiliki kelebihan di banding dengan bang Sardi. Selain sebagai PNS di lingkungan Pemkab, mas Jamal terbilang tampan, dari kalangan orang berada serta memiliki kulit yang sama sepertiku yaitu kuning langsat. Sementara bang Sardi tidak bisa menyamaahi mas jamal , yang membuat saya berteguk lutu pada bang Sardi adalah cinta dari hati sedangkan mas Jamal tidak ada cinta dariku untuknya.
Sementara bapak, ibu serta saudara-saudaraku sangat percaya kalau mas Jamal orang yang baik. Sementara aku semakin tak berdaya, hari demi hari berlalu seperti memikul beban ribuan ton, hingga akhirnya aku terjatuh dan luluh menerima pinangan mas Jamal. Seluruh keluargaku menikmati kemenangannya karena aku siap setengan hati menjadi istri mas Jamal. Aku merasakan sakit yang amat sangat, hatiku sakit karena mendustai ikrarku dengan bang Sardi..

***
Malam pertamaku dilalui tanpa ada sebuah jalinan antara aku dan mas Jamal, layaknya suami istri, menurut orang-orang malam pertama adalah malam surga bagi pengantin baru. Tetapi aku mampumelewati malam pertama itu tanpa ada gangguan yang membuat aku tak punya harapan seandainya aku kembali pada pelukan bang Sardi. Walaupun mas Jamal sempat mencium pipi dan memeluk, aku hanya diam tanpa reaksi karena aku tak berhasrat.
“Mas, akutak mengimginkan malam ini” bisikku pada mas Jamal.
“Baiklah, aku akan menunggumu sampai kamu siap” mas Jamal memahamiku keinginanku.
Aku dan mas Jamal tidur hingga pagi dating membawakan adzan subuh dan kokokan ayam. Aku melaksanakan sholah subuh secara berjamaah dengan suamiku. Menjelang pukul enam pagi aku sudah mandi dan segera menyiapkan sarapan pagi untuk mas Jamal. Hari ini mas Jamal tidak masuk kerja karena masih cuti selama seminggu dari pekerjaannya sebagai seorang PNS.
Saat kami sedang menikmati sarapan pagi tiba-tiba bapakku datng dengan seorang pria yang ternyata dia adalah om Parno keponakan bapak.
“Maaf pagi-pagi sudah bertamu”
“Oh tidak apa-apa” jawab mas Jamal.
“ini adalah omnya Mia dari Sumetera baru sampai tadi malam. Cuma nggak sempat kesini karena kelelahan” bapak mencoba menjelaskan keadaannya.
Akhirnya tiga orang pria tersebut terlibat pembicaraan yang menyenangkan, sedangkan aku hanya diam dan sesekali tertawa kecil karena aku masih belum percaya kalau aku sudah menjadi istrinya mas Jamal.
***
Ini adalah hari keempat aku menjadi istri dari mas Jamal dan aku lagi-lagi sering bermenung diri karena aku masih belum bisa mencintai mas Jamal. Walaupun aku sudah berusaha kuat melupakan bang Sardi yang kini menjadi TKI tetapi hati ini selalu menolak.
“Dek Mia, ada tamu tolong buatkan minuman” mas Jamal membuyarkan lamunanku.
“Siapa Mas?”
“Hasyim Sardi. Dia baru saja datang kemarin dari Malaysia karena mengantar temannya yang sakit di kampong sebelah” mendenagr ucapan mas Jamal aku terkejut setangah mati, seperti disambat petir disiang bolong. Darah seperti berhenti mengalir, dunia terasa lebih cepat berputar.
“Dek Mia, temuilah, dia ingin sekali bertemu denganmu. Aku tahu perasaan kamu sekarang tetapi kamu jangan terbawa oleh perasaan itu karena kamu …. istriku” dunia semakin berat saat mas Jamal mengatakan hal itu.
Rasa bersalah bersarang ditubuhku di lain hal aku bahagia bisa kembali manatap wajah bang Sardi. Aku harus melepaskan perkawinan ini dan aku akan kembali kepelukan bang Sardi. Pikiranku mulai ngawur tanpa berpikir baik buruknya.
Aku dating menemuinya diruang tamu dengan membawa secangkir the dan setoples kacang otom mulutku seperti terkunci saat aku ingin menjelaskan semuanya kepada bang Sardi.
“Selamat ya, semoga kamu bahagia dengan Jamal” ujar bang Sardi singkat.
“Maafkan aku bang, aku telah melukai perasaan abang. Tetapi abang harus harus tahu kalu semua ini paksaan dari orang tua. Bukan semata-mata aku menghianati abang”
“Dek Mia, abang yang salah karena hamper setahun tidak pernah memberi kabar. Orang tuamu tidak bersalah, aku yang harus kamu salahkan”
“Aku masih mencintai abang, aku akan ikut abang ke Malaysia” kemudian butiran bening jatuh di pipi, tangisanku tak bisa dibendung lagi.
“Tidak, sekarang kamu sudah menjadi istri orang, jadi abang tidak bisa bawa kamu. Aku tahu dek Mia masih mencintai abang”
“Bang Sardi!” aku sambil menangis kecil. Kondisi ruang tamu menjadi kaku dan bisa tanpa sepatah kata. Tidak ingin aku semakin terluka bang Sardi pamit pulang.
“Selamat berbahagia jadilah istri yang sholehah pada suami dan anak-anakmu nanti” kemudian bang Sardi pulang meninggalkan aku yang sedang menangis. Aku lihat mata bang Sardi membawa luka yang teramat dalam dihatinya.
Aku masuk kamar seraya mengusap air mata. Ahtiku semakin terluka saat harus berpisah dengan bang Sardi dan menjadi istri mas Jamal. Sedangkan mas Jamal berbinar mendengar ucapan terakhir bang Sardi.
“Ada SMS untuk kamu” mas Jamal menjulurkan tangannya dan memberikan ponsel yang ditangannya.
Dek Mia, berbaktilah kepada suamimu, kau ladang baginya. Berbabahagialah dan lupakan aku
Hasyim Sardi
Tangisku kembali pecah kemudian aku di peluk erat oleh mas Jamal, saat aku membaca SMS tersebut. Mas Jamal memelukku erat-erat dan menenangkan aku.
***
Ini malam ke tujuh dari malam pernikahanku, walaupun sudah jam dua belas malam tetapi mataku tidak bisa terpejam. Aku melihat mas Jamal tidur pulas disebelahku, ucapan dan SMS dari bang Sardi kembali teringat dan aku berusaha mengubur dalam-dalam perasaanku pada bang sardi dan mengobati luka hati ini denagn menjadi istri mas Jamal. Bang Sardi sudah melepaskan ak, dia tidak akan kembali padakulagi. Dia sudah merelakan aku menjadi milik mas Jamal.
Aku mencium pipi mas Jamal, dia terbangun dan membalikan tubuhnya menghadapku dan membisikan ditelingaku.
“Kau menginginkan malam ini?” Tanya mas Jamal.
Aku menjawab dengan sedikit tersenyum, dalam hitungan detik aku sudah berada dalam dekapan hangatnya dan melangkah kemalam surga yang bertabur kehangatan dan kepasrahan bersama suamiku mas Jamal.
Rabu, 21 April 2010 | By: Rahman Raden

DEPRESI

CERPEN: Memang tidak seperti orang pada biasanya, saat ini dia lebih banyak termenung, terkadang suka mengacak-ngacak rambut pendeknya yang bercabang. Memang dia pernah bilang kepadaku kalau dia suka melakukan hal tersebut karena otaknya disesaki oleh pikiran yang entah datang dari mana aku tidak tahu dan itu aku tahu sendiri karena masalah yang kerap datang padanya sangat sepela sebasar kutu dirambutnya tetapi dianggap besar olehnya seperti gajah afrika. Tetapi saat ini dia lebih lain dari pada biasanya, kadar termenungnya melonjak naik dari hari biasanya, sekarang otaknya sudah mulai mengolah masalahnya naik menjadi rata-rata 70% dari pada hari biasanya, sebuah kenaikan angka yang signifikan menurutku.
“Mungkin dia mengidap penyakit mematikan?”
“Tidak”
“Mungkin ada masalah dari pekerjaan barunya?”
“ Tidak juga”
“Kenapa?”
“Aku juga tidak tau yang jelas aku tidak mau ambil pusing. Sebenarnya aku kasihan juga tetapi dia lebih banyak sombongnya sehingga aku agak gimana gitu! tau sendirikan kamu bagaimana sifatnya aku yang kadang sedikit cuek”
Dua jam lagi aku harus berangkat menemui dia untuk mengabarkan sesuatu yang pasti lebih dari berita utama koran besok pagi yang pasti membahas tentang masalah korupsi pejabat di Jakarta yang terkuak beberapa minggu ini.
“Nanti kalau aku sudah mengabarkan pada dia, aku akan beri tau kamu agar kamu tidak tulalit ketika berbicara dengan dia mengenai masalah ini”
***
“Maaf tuan nyonya sedang keluar” kata Painem pembantunya.
“Pergi kemana ya?”
“Tidak tahu juga tuan. Sepertinya tadi nyonya sangat tergesa-gesa hingga nyaris menabrak kucing dipinggir jalan, tuan”
“Oke, kalau begitu besok sore saya kesini lagi. Sampaikan pada dia besok aku mau bertemu dengannya penting”
***
Jarum jam seakan sengaja mempermainkan aku, bayangakan saja untuk menunggu jam empat sore seperti menunggu jam 24 ketika jam 1 siang. Sepertinya matahari mundur walaupun aku sudah menghilangkan kejenuhanku dengan beraktivitas, namun tetap saja waktunya segitu-gitu aja. Alarm berbunyi tanda waktu jam 4 sore di mulai, sesuai janji saya kepada pembantu yang kemarin bahwa hari ini jam 4 sore saya akan kembali menemuinya untuk menanyakan apakah si empu rumah ada di rumah. Tinggal menunggu jawaban, kalau di jawab ada berarti saya bisa duduk di ruang tamu yang kata tetangga sebelahnya adalah ruang tamu super mewah kuadrat. Tetapi sebaliknya kalau tidak ada berarti “Mimpi Kali Ye…!”
***
“Sebanarnya masalah itu datang sejak saya masih SMP kelas 3” Ujar Dena lembut.
Niat saya ingin mengabarkan berita penting pada Dena tidak terlaksana karena dia lebih banyak bercerita tentang masalah yang tidak jelas, akupun jadi malas menceritakannya. Depresi, gumamku.
“Dena, aku sudah tau itu sejak kita duduk di bangku SMA tetapi sampai sekarang kamu belum mengatakan persoalan sebenarnya. Aku amati kamu sekarang lain dari pada biasanya”
“Ah itu penting tak bagimu”
“sebagai seorang teman aku punya hak untuk tahu”
“Iya kamu seorang teman bukan seorang ibu yang pernah memberiku ASI ketika aku masih bayi”
“apa maksudmu?”
“Fadil, sudah aku bilang kamu tidak perlu tahu. Biarlah tuhan dan almarhum ibuku yang tahu atas masalah yang menimpaku. Jika semua orang tahu apa yang aku alami sekarang mereka akan menjauhiku termasuk kamu”
“Itu tidak mungkin, seberat apapun masalah dalam dirimu aku akan tetap bersamamu”
“Sudahlah aku capek. Aku mau makan saja, kalau kamu mau ayo ikut makan bersamaku. Bibi Ena membuat menu special hari in”
“Hentikan ocehanmu itu” mendengar ucapanku, Dena tertawa seperti nenek lampir berhasil menangkap kurcaci. Ngeri, melengking, takut dan sejuta kata seram lainnya
***
Ya terserah, itu adalah takdir yang memang di tulis di lauful mahfud. Aku akan menjadi diriku sendiri, menjalani hidup yang deras seperti sungai yang meluap kala hujan. Tuhan tahu misi hidupku maka jangan heran jika aku suatu hari nanti mendapatkan kemenangan hati. Itu karena aku melakukannya dari hati bukan dari buah pikiran yang kejujurannya diragukan oleh ahli ESQ. Bukankan demikaian? Ah itu tak penting yang penting sesuatu harus di mulai dari hati. Selamat tinggal Dena semoga nanti kamu sembuh dari penyakit anehmu itu. Yang menurutmu itu adalah masalah tetapi menurutku kamu gila tanpa sebab.
Sekarang aku tidak lagi membayangi kamu sedih hanya karena masalah itu. Bikin repot saja ketika kamu telpon aku saat aku tidur dipangkuan mimpi. Hari demi hari telah terlawati tetapi dirimu masih selalu menjadi biang perusak mimpi malamku.
Maafkan aku Dena, kamu jangan mengganggu hidupku sekarang. Aku jengah mendengar keluhan masalahmu yang tidak jelas itu.
Salam dari shabatmu Yoga Fadil bin Alifian Putra ”
Itulah surat terakhirku untuk Dena yang aku kirim tanggal 12 Maret dan sekarang tanggal 09 maret, berarti tiga hari lagi aku harus tiup lilin untuk merayakan satu tahun usia surat terakhirku untuk Dena.
***
Dena adalah gadis cantik yang cerdas, memiliki aura wanita seperti bidadari yang turun dari sayap malaikat. Aku mengenalinya ketika aku tanpa sengaja satu kelas ketika SMA. Aku adalah pria indo keturunan jerman, belanda dan madura. Aku lahir di rumah mewah dekat gedung parlemen kota Amsterdam. Sebulan dari meniup lilin ultah yang ke 5 aku diboyong kerumah nenek di kota Munich sebuah kota yang menyimpan sejarah kehidupan kelam bagi kakek. Ah itu dulu tidak penting dibahas kini aku bergelimang harta seperti Dena yang selalu mandi uang. Aku dan Dena adalah dua mahluk tuhan yang tercipta menikmati surga dunia diatas sejuta mimpi orang miskin
Sejumlah perusahaan ayahku bertebaran seantero Nusantara dan Asia, bahkan sekarang ayahku menyandang sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Semua mata tertuju padaku, bahkan aktris termahal dinegari ini pernah membuat gossip murahan kalau dirinya berpacaran denganku.
Setelah selesai kuliah, hingga sekarang aku belum bekerja karena warisanku sudah lebih dari cukup hingga tujuh turunan. Hal senada juga terjadi pada Dena dia anak seorang mantan menteri dinegeri ini, perusahaan ayahnya juga berkembang pesat.
***
“Apa…??? Bohong…!!! Tuhan…!!!”
Aku jatuh tersungkur mendengar Dena bunuh diri. Kini dia meninggalkan jasad yang siap dikubur oleh orang yang simpati padanya.
Aku terlahir sebagai Gentle Man, atau lebih pasnya aku adalah lelaki sejati, lelaki tegar. Tetapi aku tidak lupa kalau gelar itu dari tuhan. Tuhan yang mengilhami pada semua orang bahwa aku Lelaki sejati. Tuhan yang memberi dan itu milik tuhan, jadi wajar-wajar saja ketika tuhan mengambil dariku.
Bukti dari semua itu yaitu aku menagis seperti bayi yang tidak diberi ASI oleh Ibunya.
“Kenapa itu bisa terjadi?” tanyaku penuh penasaran
“Dena tewas terjun dari lantai 45 di menara Petronas”
“Terjatuh?”
“Dia Bunuh Diri”
“Kapan dia ke Malaysia?”
“Tiga hari sebelumnya dari kabar yang saya peroleh, Dena depresi berat”
“Kenapa harus di manara Petronas, bukankan di Sudirman dan di MH Thamrin banyak gedung-gedung tinggi?” aku terus bertanya.
“Kalau di Indonesia pasti akan menjadi berita Nasional, kalau disana akan menjadi berita Internasional ‘Seorang Wanita Indonesia Terjun dari Lantai 45 Petronas Malaysia’ demikianlah koran-koran dunia menulis berita itu. Tetapi itu masih mungkin” Mendengar penjelasan bapak tua itu aku hanya mengangguk setuju dengan pernyataan itu..
***

Sekarang aku semakin dibuat penasaran, walaupun kematian Dena sudah berlalu sejak 10 hari yang lalu aku masih saja dihantui perasaan penasaran, depresi apa yang menderanya hingga harus diselesaikan dengan cara bunuh diri. Kadang aku menyesali harus meninggalkan Dena disaat dia pusing memikirkan masalahnya.
Polisi terus menyelidiki kasus kemungkinan Dena mati karena dibunuh dan dilemparkan dari lantai 45 menara Petronas Malaysia. Kasus tersebut terus bergulir karena berdasarkan otopsi dokter bahwa Dena dibunuh bukan bunuh diri. Aku tidak terlalu mengikuti kelanjutan kematian Dena, aku sengaja tidak mengikuti kasus terbunuhnya Dena karena aku tidak ma uterus-terusan larut dalam kesedihan.
Saat aku menyetir mobilku keluar dari garasi untuk pergi kesebuah café, aku dikejutkan oleh Painem, pembantunya Dena yang lama menghilang karena pulang kampung.
“Tuan, ada titipan surat dari almarhum non Dena seminggu sebelum dia meninggal”
“Kenapa baru diberikan sekarang?” tanyaku dengan rasa jengkel.
“Saya lupa tuan karena pulang kekampung”
Tanpa banyak buang waktu aku menarik surat yang masih tertutup rapat oleh perempuan tua itu, aku membaca kata demi kata yang ditulis oleh Dena, isinya singkat namun cukup membuatku menangis seperti bayi tidak diberi ASI oleh ibunya.
“selamat pagi, hidupku makin stress karena sudah hampir setahun kita tidak bertemu karena dirimu jengah dengan keluhan yang memang menurutku malu untuk diungkapkan. Jujur demi Tuhan Aku depresi karena aku dua kali menjadi korban pemerkosaan oleh guruku saat aku SMP, Itu yang membuat aku depresi berat dan trauma. Aku tidak berani jujur atas kisah gelapku karena aku mencintaimu jika aku mengatakan aku diperkosa dan mencintaimu, pasti kamu akan menolak isi hatiku ini.
Tetapi kalau kamu menerima aku dari sahabat menjadi kekasihmu aku tunggu paling lama lima hari lagi dirumahku. Tetapi kalu kamu tidak datang aku akan berangkat ke Malaysia untuk melepaskan semua beban yang ada dalam otakku ini. Aku depresi”
Aku menangis sejadi-jadinya, sementara Painem yang berdiri didekatku terlihat seperti kecoa yang siap dibasmi. Seandainya pembantu itu segera memberikat surat itu sebelum dia pulang kekampungnya mungkin peristiwa yang menimpa Dena tidak akan terjadi.
Aku lebih memilih menangis saat emosiku naik daripada membasmi Painem, pembantu yang sudah tua dan mulai pikun itu, aku tidak boleh membasminya karena bisa berakibat aku menginap di Hotel Prodeo, Painem hanya menganga dengan tingkahku yang menurutnya aneh, seorang Lelaki yang sudah dewasa menangis seperti anak kecil.
Sabtu, 17 April 2010 | By: Rahman Raden

KABAR SEKILAS*


CERPEN: Sebelum adzan subuh berkumandang, Tejo sudah bangun dari tidurnya untuk melanjutkan perjalanannya menuju kota Surabaya untuk mengantar hasil ternak yaitu susu kuda liar dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Setelah melakukan perjalanan jauh hampir dua hari dari NTB ke pelabuhan Ketapang Banyuwangi, pagi itu tejo bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya istirahat disekitar pelabuhan sejak pukul sembilan malam, kini dia bersama temannya Farid serta tiga rombongan truknya akan berangkat kekota Surabaya.
Perjalanan ratusan kilometer tentu membutuhkan stamina yang banyak apalagi perjalanannya masih jauh. Pagi itu Tejo mengkonsumsi obat sakit kepala untuk menghilangkan rasa pusing dikepalanya karena kelelahan walaupun semalam sudah minum suplemen penambah stamina namun itu tidak mampu melenturkan syaraf-syarafnya sehingga sakit kepala sering saja muncul baik dalam maupun setelah perjalanan jauh. Mesin truk pun dipanaskan untuk melanjutkan perjalanannya, setelah hampir 25 menit dipanaskan dan dianggap cukup truk dengan nomor polisi “L 1221 PN” itu berangkat meninggalkan pelabuhan Ketapang kabupaten Banyuwangi.
Selama dalam perjalanan tidak lupa Tejo mendengarkan musik dangdut lewat tape yang ada ditruknya untuk menghilangkan rasa jenuh sementara rekannya Farid asyik makan roti untuk menu sarapan dalam perjalanan panjang ini.
“Mau? dalamnya isi kacang ijo” Farid menawarkan roti yang dimakannya.
“Bukakan bungkusnya” jawab Tejo kalau dirinya ingin roti tersebut.
Perjalanan mereka terus berlanjut karena Tejo tetap konsentrasi saat mengendarai truknya yang bermuatan penuh berisi susu kuda liar dari tanah Sasak. Farid menikmati perjalanan itu dengan menghisap rokok kretek ditangannya. Farid memang seorang perokok berat dan kepalanya manggut-manggut bukan karena ngantuk tetapi asyik menikmati Pacar Dunia Akhirat-nya Rita Sugiarto, sebuah lagu dangdut lawas namun tetap asyik ditelinga.
Tanpa terasa perjalanan sudah memakan waktu satu jam artinya perjalanan mereka sudah berada di kabupaten Situbondo. Mulut Tejo menguap seperti orang mengantuk namun tetap saja Tejo fokus pada kemudinya.
***
Setelah melaksanakan sholat subuh, bu Saena sudah mulai membereskan rumahnya yang sudah tua. Putra tunggalnya yang masih pelajar SMA masih tidur dikamarnya karena pagi itu udara terasa dingin sehingga dia lebih akrab dengan selimut tipisnya. Sementara sang suami bu Saena yaitu pak Karim sedang membetulkan rantai sepedanya yang kendur.
“Yono, bangun to nak sudah siang” kata bu Saena.
“Iya bu” sahut Yono setelah mendengar ibunya membangunkan tidurnya, maka anak itu bangun dari kasurnya, setelah itu dia pergi kesumur untuk mandi. Pada biasanya membantu orang tuanya membuka warung tempat meraka berjualan dipinggir jalan raya depan rumahnya sebelum berangkat ke sekolah.
Pak Karim dan istrinya bu Saena adalah penjual makanan seperti nasi, kopi, mi goreng, dan berbagai macam kue-kue buatanya, kue titipan tetangga serta makanan ringan dalam kemasan bermerek.
Warung itu bernama “Warung Sejahtera” karena warung yang berada disisi kiri jalan raya itu benar-benar memberikan kesejahteraan bagi keluarga pak Karim sejak puluhan tahun yang lalu. Warung sedarhana berdinding gedhek atau terbuat dari bambu-bambu yang dianyam menyerupai tikar pandan, walaupun warung itu sederhana tetapi pelanggannya cukup banyak karena letaknya dipinggir jalan raya Arjasa yang merupakan jalur pantura di kabupaten Situbondo yang cukup ramai dilalui kendaraan lintas daerah.
Setelah warungnya dibuka maka pembelipun berdatangan, ada yang sekedar minum kopi, ada juga yang sarapan serta beberapa ibu-ibu mengantarkan sejumlah kue yang dititipkan pada Warung Sejahtera.
Pak karim dan istrinya bu Saena sibuk melayani pembeli diwarungnya, karena pagi itu benar-benar ramai dikunjungi pembeli, sementara Yono duduk dikursi depan warungnya untuk menunggu mobil angkutan penumpang menuju sekolahnya. Diwarung tersebut juga banyak teman-teman sekolah Yono yang sarapan diwarungnya sambil menunggu angkutan menuju sekolahnya.
***
Suasana yang carah mewarnai pagi keluarga dokter Junaidi. Nyanyian burung Beo peliharaannya bernyanyi sesuka hati. Istrinya yaitu ibu Dinda baru saja datang dari pasar belanja sayur dan ikan untuk makan siang nanti, akhirnya istrinya tidak sempat membuat sarapan untuk suaminya, biasanya yang belanja pembantunya namun karena kakinya keseleo akhirnya tidak bisa berbelanja pagi itu. Dan bayi mungilnya asyik bicara sendiri tanpa makna, bener-benar tidak dimengerti. Hanya kesan lucu dan gemas bagi siapa saja yang mendengar dari mulut bayi mungil yang belum bisa berbicara itu.
Dokter Junaidi berpamitan pada istrinya, ibu Dinda dan mencium anaknya yang masih berumur 18 bulan ketika berangkat kerja ke Puskesmas Kecamatan Arjasa. Tidak pada biasanya anak dokter Junaidi yang digendong istrinya menangis setelah dicium olehnya padahal pada biasanya tidak begitu ketika dokter Junaidi berangkat kerja. Firasat.
“Lo, anak ayah kok nangis” kata dokter Junaidi pada bayinya sambil mengelus rambutnya. Istrinya berusaha menenagkan anak yang digendongnya.
Kemudian dokter Junaidi berangkat menuju tempat dia bertugas dengan sepeda motor barunya. Dalam perjalanan dokter Junaidi singgah di warung “Sejahtera” langganannya untuk sarapan pagi, memang jika istrinya tidak membuat sarapan dokter Junaidi sarapan diwarung Sejahtera dipinggir jalan, seratus meter dari tempat dia bekerja di Puskesmas Kecamatan Arjasa.
“Assalamualaikum”
“Waalaikusalam, eh, pak dokter silakan pak mau sarapan apa?”
“Seperti biasa pak, lauknya tempe-tahu saja”
“Baik pak Dokter”
Oleh warga sekitar dokter Junaidi lebih akrab dipanggil Pak dokter atau dokter Jun. Dokter Jun adalah seorang dokter yang sudah dua tahun bertugas di Puskesmas Kecanatan Arjasa. Kabaikan dan keramahan dokter Jun membuat dia cepat dikenal dan diakrabi oleh warga walaupun dokter Jun asli dari Makassar tetapi dia mudah berbaur dengan lingkungan yang berbeda adat dan kebiasaan.
Diwarung Sejahtera tersebut mulai beranjak sepi karena pembeli sudah pulang membeli kebutuhan untuk sarapan paginya. Dokter Jun serta bersama lima orang lainnya masih menyantap nasi dipiringnya. Sesekali terlibat perbincangan penuh keakraban diantara mereka. Walaupun sebenarnya sedikit bising dengan kendaraan yang mulai ramai melewati jalan, pagi sudah memaksa orang-orang untuk segera beraktivitas masing-masing.
******
Tanpa terasa perjalanan sudah memakan waktu satu jam artinya perjalanan mereka sudah berada di kabupaten Situbondo. Mulut Tejo menguap seperti orang mengantuk namun tetap saja Tejo fokus pada kemudinya. Perjalanan terus berlanjut tanpa ada keluhan pada rekannya Farid. Mulut Tejo kembali menguap dan matanya mulai berat, Tejo benar-benar mengantuk sedangkan Farid tidak mengetahui kalau sopirnya tersebut sedang mengantuk sebab semalam Tejo sudah istirahat dengan cukup.
Tejo berniat menggantikan posisinya pada rekannya Farid karena mengantuk yang datang secara tiba-tiba, tanpa disadari olehnya bahwa rasa kantuk itu disebabkan oleh obat sakit kepala yang diminum sebelum dia berangkat, obat tersebut ternyata menyebabkan kantuk.
Rasa kantuknya sudah tidak tidak bisa ditahan, Tejo ingin mengutarakan niatnya untuk minta ganti pada Farid untuk menyetir truk yang dia bawa. Semuanya terlambat, Farid sudah terlempar kejalan raya.
***
Suasana diruangan itu berkabung, Yono yang masih berseragam sekolah terus membaca Istigfar berkali-kali sambil berusaha tegar namun dari matanya yang memerah nampak sekali bahwa jiwanya terpukul dan bersedih serta mengharap keajaiban memihaknya. Tidak jauh dari tempat duduk Yono, istri dokter Junaidi, ibu Dinda juga menangis sedih sambil menggendong buah hatinya, serta bebarapa orang yang ada diruangan itu juga mengalami hal yang sama dengan Yono dan ibu Dinda, semuanya mengharap mukjizat dari Allah SWT.
Farid juga tampak sibuk menghibungi keluarga Tejo di Solo Jawa Tengah serta keluarga dirinya di Madiun Jawa Timur. Kepanikan terlihat jelas dari wajah lelahnya, sambil bersandar disebuah papan tembok bertuliskan Rumah Sakit Umum Daerah Situbondo, Farid sejenak mengusap wajah dengan kedua tangannya sambil berdoa. Farid kembali masuk kedalam ruangan dimana ruangan tersebut terdapat Yono dan ibu Dinda sedang menangis duka cita.
***
Setelah iklan bermunculan selama lima menit, televisi swasta National TV masuk pada acara beriktnya yaitu berita singkat atau Headline News pada jam sebelas siang.
“Selamat siang pemirsa berjumpa lagi di Kabar Sekilas pukul sebelas bersama saya Rahma Sarita. Untuk informasi kali ini kita sekarang sudah terhubung dengan reporter National TV Dinna Andini dan kameramen Surya Nasution di Situbondo Jawa Timur, silahkan Dinna ada berita apa siang ini untuk Kabar Sekilas?”
“Baik, Rahma. Berita kali ini dari peristiwa kecelakaan. Pemiras, sebuah kecelakaan terjadi di jalan raya Arjasa Situbondo Jawa Timur tadi pagi sekitar pukul tujuh WIB, sebuah truk dengan nomor polisi ‘L 1221 PN’ bermuatan susu dari Sumbawa Nusantara Tenggara Barat tujuan Surabaya Jawa Timur menabrak sebuah warung dipinggir jalan. Selain lima orang cedera dalam kecalakaan tersebut juga menelan empat korban tewas. Lima orang yang cedera masih dalam perawatan, sementara empat korban tewas masih berada di kamar jenazah, korban tewas tersebut adalah sang sopir truk bernama Tejo, sepasang suami istri pemilik warung tersebut serta seorang dokter yang ketika kecelakaan berada diwarung tersebut. sementara kenek truk naas tersebut selamat tanpa sedikit luka pada tubuhnya. Diduga kecelakaan tersebut disebebkan sang sopir mengantuk karena pengaruh obat sakit kepala yang diminumnya”
Kemudian dilayar muncul wajah Farid sedang diwawancarai sebagai saksi, dia kembali menegaskan bahwa sopir mengantuk karena pengaruh obat yang diminumnya. Kemudian muncul wajah Yono yang juga diwawancarai reporter National TV.
“Iya mbak, bapak dan ibu saya meninggal. Saya nggak tahu lagi harus gimana” jawab Yono sedih saat diwawancarai.
“Demikian Rahma untuk Kabar Sekilas NationalTV siang ini” kata Reporter National TV, Dinna Andini.
“Iya terima kasih Dinna di Situbondo Jawa Timur atas laporannya. Demikian Kabar Sekilas siang ini, anda bisa mengikuti berita selengkapnya di Kabar National pukul dua belas nanti. Saya, Rahma Sarita undur diri dari hadapan anda terima kasih atas perhatiannya, sampai jumpa” tutup wanita cantik di layar televisi itu seraya tersenyum. Acara TV kembali dilanjutkan.