Rabu, 21 April 2010 | By: Rahman Raden

DEPRESI

CERPEN: Memang tidak seperti orang pada biasanya, saat ini dia lebih banyak termenung, terkadang suka mengacak-ngacak rambut pendeknya yang bercabang. Memang dia pernah bilang kepadaku kalau dia suka melakukan hal tersebut karena otaknya disesaki oleh pikiran yang entah datang dari mana aku tidak tahu dan itu aku tahu sendiri karena masalah yang kerap datang padanya sangat sepela sebasar kutu dirambutnya tetapi dianggap besar olehnya seperti gajah afrika. Tetapi saat ini dia lebih lain dari pada biasanya, kadar termenungnya melonjak naik dari hari biasanya, sekarang otaknya sudah mulai mengolah masalahnya naik menjadi rata-rata 70% dari pada hari biasanya, sebuah kenaikan angka yang signifikan menurutku.
“Mungkin dia mengidap penyakit mematikan?”
“Tidak”
“Mungkin ada masalah dari pekerjaan barunya?”
“ Tidak juga”
“Kenapa?”
“Aku juga tidak tau yang jelas aku tidak mau ambil pusing. Sebenarnya aku kasihan juga tetapi dia lebih banyak sombongnya sehingga aku agak gimana gitu! tau sendirikan kamu bagaimana sifatnya aku yang kadang sedikit cuek”
Dua jam lagi aku harus berangkat menemui dia untuk mengabarkan sesuatu yang pasti lebih dari berita utama koran besok pagi yang pasti membahas tentang masalah korupsi pejabat di Jakarta yang terkuak beberapa minggu ini.
“Nanti kalau aku sudah mengabarkan pada dia, aku akan beri tau kamu agar kamu tidak tulalit ketika berbicara dengan dia mengenai masalah ini”
***
“Maaf tuan nyonya sedang keluar” kata Painem pembantunya.
“Pergi kemana ya?”
“Tidak tahu juga tuan. Sepertinya tadi nyonya sangat tergesa-gesa hingga nyaris menabrak kucing dipinggir jalan, tuan”
“Oke, kalau begitu besok sore saya kesini lagi. Sampaikan pada dia besok aku mau bertemu dengannya penting”
***
Jarum jam seakan sengaja mempermainkan aku, bayangakan saja untuk menunggu jam empat sore seperti menunggu jam 24 ketika jam 1 siang. Sepertinya matahari mundur walaupun aku sudah menghilangkan kejenuhanku dengan beraktivitas, namun tetap saja waktunya segitu-gitu aja. Alarm berbunyi tanda waktu jam 4 sore di mulai, sesuai janji saya kepada pembantu yang kemarin bahwa hari ini jam 4 sore saya akan kembali menemuinya untuk menanyakan apakah si empu rumah ada di rumah. Tinggal menunggu jawaban, kalau di jawab ada berarti saya bisa duduk di ruang tamu yang kata tetangga sebelahnya adalah ruang tamu super mewah kuadrat. Tetapi sebaliknya kalau tidak ada berarti “Mimpi Kali Ye…!”
***
“Sebanarnya masalah itu datang sejak saya masih SMP kelas 3” Ujar Dena lembut.
Niat saya ingin mengabarkan berita penting pada Dena tidak terlaksana karena dia lebih banyak bercerita tentang masalah yang tidak jelas, akupun jadi malas menceritakannya. Depresi, gumamku.
“Dena, aku sudah tau itu sejak kita duduk di bangku SMA tetapi sampai sekarang kamu belum mengatakan persoalan sebenarnya. Aku amati kamu sekarang lain dari pada biasanya”
“Ah itu penting tak bagimu”
“sebagai seorang teman aku punya hak untuk tahu”
“Iya kamu seorang teman bukan seorang ibu yang pernah memberiku ASI ketika aku masih bayi”
“apa maksudmu?”
“Fadil, sudah aku bilang kamu tidak perlu tahu. Biarlah tuhan dan almarhum ibuku yang tahu atas masalah yang menimpaku. Jika semua orang tahu apa yang aku alami sekarang mereka akan menjauhiku termasuk kamu”
“Itu tidak mungkin, seberat apapun masalah dalam dirimu aku akan tetap bersamamu”
“Sudahlah aku capek. Aku mau makan saja, kalau kamu mau ayo ikut makan bersamaku. Bibi Ena membuat menu special hari in”
“Hentikan ocehanmu itu” mendengar ucapanku, Dena tertawa seperti nenek lampir berhasil menangkap kurcaci. Ngeri, melengking, takut dan sejuta kata seram lainnya
***
Ya terserah, itu adalah takdir yang memang di tulis di lauful mahfud. Aku akan menjadi diriku sendiri, menjalani hidup yang deras seperti sungai yang meluap kala hujan. Tuhan tahu misi hidupku maka jangan heran jika aku suatu hari nanti mendapatkan kemenangan hati. Itu karena aku melakukannya dari hati bukan dari buah pikiran yang kejujurannya diragukan oleh ahli ESQ. Bukankan demikaian? Ah itu tak penting yang penting sesuatu harus di mulai dari hati. Selamat tinggal Dena semoga nanti kamu sembuh dari penyakit anehmu itu. Yang menurutmu itu adalah masalah tetapi menurutku kamu gila tanpa sebab.
Sekarang aku tidak lagi membayangi kamu sedih hanya karena masalah itu. Bikin repot saja ketika kamu telpon aku saat aku tidur dipangkuan mimpi. Hari demi hari telah terlawati tetapi dirimu masih selalu menjadi biang perusak mimpi malamku.
Maafkan aku Dena, kamu jangan mengganggu hidupku sekarang. Aku jengah mendengar keluhan masalahmu yang tidak jelas itu.
Salam dari shabatmu Yoga Fadil bin Alifian Putra ”
Itulah surat terakhirku untuk Dena yang aku kirim tanggal 12 Maret dan sekarang tanggal 09 maret, berarti tiga hari lagi aku harus tiup lilin untuk merayakan satu tahun usia surat terakhirku untuk Dena.
***
Dena adalah gadis cantik yang cerdas, memiliki aura wanita seperti bidadari yang turun dari sayap malaikat. Aku mengenalinya ketika aku tanpa sengaja satu kelas ketika SMA. Aku adalah pria indo keturunan jerman, belanda dan madura. Aku lahir di rumah mewah dekat gedung parlemen kota Amsterdam. Sebulan dari meniup lilin ultah yang ke 5 aku diboyong kerumah nenek di kota Munich sebuah kota yang menyimpan sejarah kehidupan kelam bagi kakek. Ah itu dulu tidak penting dibahas kini aku bergelimang harta seperti Dena yang selalu mandi uang. Aku dan Dena adalah dua mahluk tuhan yang tercipta menikmati surga dunia diatas sejuta mimpi orang miskin
Sejumlah perusahaan ayahku bertebaran seantero Nusantara dan Asia, bahkan sekarang ayahku menyandang sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Semua mata tertuju padaku, bahkan aktris termahal dinegari ini pernah membuat gossip murahan kalau dirinya berpacaran denganku.
Setelah selesai kuliah, hingga sekarang aku belum bekerja karena warisanku sudah lebih dari cukup hingga tujuh turunan. Hal senada juga terjadi pada Dena dia anak seorang mantan menteri dinegeri ini, perusahaan ayahnya juga berkembang pesat.
***
“Apa…??? Bohong…!!! Tuhan…!!!”
Aku jatuh tersungkur mendengar Dena bunuh diri. Kini dia meninggalkan jasad yang siap dikubur oleh orang yang simpati padanya.
Aku terlahir sebagai Gentle Man, atau lebih pasnya aku adalah lelaki sejati, lelaki tegar. Tetapi aku tidak lupa kalau gelar itu dari tuhan. Tuhan yang mengilhami pada semua orang bahwa aku Lelaki sejati. Tuhan yang memberi dan itu milik tuhan, jadi wajar-wajar saja ketika tuhan mengambil dariku.
Bukti dari semua itu yaitu aku menagis seperti bayi yang tidak diberi ASI oleh Ibunya.
“Kenapa itu bisa terjadi?” tanyaku penuh penasaran
“Dena tewas terjun dari lantai 45 di menara Petronas”
“Terjatuh?”
“Dia Bunuh Diri”
“Kapan dia ke Malaysia?”
“Tiga hari sebelumnya dari kabar yang saya peroleh, Dena depresi berat”
“Kenapa harus di manara Petronas, bukankan di Sudirman dan di MH Thamrin banyak gedung-gedung tinggi?” aku terus bertanya.
“Kalau di Indonesia pasti akan menjadi berita Nasional, kalau disana akan menjadi berita Internasional ‘Seorang Wanita Indonesia Terjun dari Lantai 45 Petronas Malaysia’ demikianlah koran-koran dunia menulis berita itu. Tetapi itu masih mungkin” Mendengar penjelasan bapak tua itu aku hanya mengangguk setuju dengan pernyataan itu..
***

Sekarang aku semakin dibuat penasaran, walaupun kematian Dena sudah berlalu sejak 10 hari yang lalu aku masih saja dihantui perasaan penasaran, depresi apa yang menderanya hingga harus diselesaikan dengan cara bunuh diri. Kadang aku menyesali harus meninggalkan Dena disaat dia pusing memikirkan masalahnya.
Polisi terus menyelidiki kasus kemungkinan Dena mati karena dibunuh dan dilemparkan dari lantai 45 menara Petronas Malaysia. Kasus tersebut terus bergulir karena berdasarkan otopsi dokter bahwa Dena dibunuh bukan bunuh diri. Aku tidak terlalu mengikuti kelanjutan kematian Dena, aku sengaja tidak mengikuti kasus terbunuhnya Dena karena aku tidak ma uterus-terusan larut dalam kesedihan.
Saat aku menyetir mobilku keluar dari garasi untuk pergi kesebuah café, aku dikejutkan oleh Painem, pembantunya Dena yang lama menghilang karena pulang kampung.
“Tuan, ada titipan surat dari almarhum non Dena seminggu sebelum dia meninggal”
“Kenapa baru diberikan sekarang?” tanyaku dengan rasa jengkel.
“Saya lupa tuan karena pulang kekampung”
Tanpa banyak buang waktu aku menarik surat yang masih tertutup rapat oleh perempuan tua itu, aku membaca kata demi kata yang ditulis oleh Dena, isinya singkat namun cukup membuatku menangis seperti bayi tidak diberi ASI oleh ibunya.
“selamat pagi, hidupku makin stress karena sudah hampir setahun kita tidak bertemu karena dirimu jengah dengan keluhan yang memang menurutku malu untuk diungkapkan. Jujur demi Tuhan Aku depresi karena aku dua kali menjadi korban pemerkosaan oleh guruku saat aku SMP, Itu yang membuat aku depresi berat dan trauma. Aku tidak berani jujur atas kisah gelapku karena aku mencintaimu jika aku mengatakan aku diperkosa dan mencintaimu, pasti kamu akan menolak isi hatiku ini.
Tetapi kalau kamu menerima aku dari sahabat menjadi kekasihmu aku tunggu paling lama lima hari lagi dirumahku. Tetapi kalu kamu tidak datang aku akan berangkat ke Malaysia untuk melepaskan semua beban yang ada dalam otakku ini. Aku depresi”
Aku menangis sejadi-jadinya, sementara Painem yang berdiri didekatku terlihat seperti kecoa yang siap dibasmi. Seandainya pembantu itu segera memberikat surat itu sebelum dia pulang kekampungnya mungkin peristiwa yang menimpa Dena tidak akan terjadi.
Aku lebih memilih menangis saat emosiku naik daripada membasmi Painem, pembantu yang sudah tua dan mulai pikun itu, aku tidak boleh membasminya karena bisa berakibat aku menginap di Hotel Prodeo, Painem hanya menganga dengan tingkahku yang menurutnya aneh, seorang Lelaki yang sudah dewasa menangis seperti anak kecil.

0 komentar:

Posting Komentar