Selasa, 19 Oktober 2010 | By: Rahman Raden

Pria Itu Bernama Abeng


Cerpen: Malam itu Adi, Erdi, Lutfi dan Faton masuk kesebuah tempat yang sangat ramai sekali oleh anak-anak dan remaja.
“Bola bang!” kata Faton.
“Sisa nomor lima”
“Nggak apa-apa bang, Cuma dua orang yang main” sahut Lutfi.
“Iya, tunggu disamna” kata pria yang menjaga disitu.
Ditempat itu ramai sekali, peminat bola semua, sorak penonton dari speker riuh memekakan telinga terlebih dari sepuluh kursi yang tersedia semuanya main bola. Lutfi dan Faton memegang stik yang siap main bola, adi dan Erdy hanya menyaksikan layar milik Faton yang berduet dengan Lutfi. Dua remaja yang masih kelas dua SMA tersebut memang PS mania alias suka main Play Station. Jika mereka berdua tidak memiliki kegiatan mereka berdua lebih memilih menghabiskan waktunya main PS terutama pada hari minggu. Sedangkan Adi dan Erdi juga senang main PS tetapi tidak seperti Lutfi dan Faton yang sudah jadi PS Mania.
Adi dan Erdi yang tidak ikut main game tersebut juga terlibat dalam sorak teriak ketika bola menembus dalam gawang meskipun berupa game. Permainan mereka semakin seru setelah gol demi gol tercipta oleh masing-masing pemain yaitu Lutfi dan Faton.
Setelah puas bermain selama dua jam mereka memutuskan pulang karena banyak pengunjung sudah pulang. Mereka semua sepakat untuk pulang karena dianggap cukup serta mata sudah mengantuk.
Seratus meter dari rumah om Karman tempat mereka menginap, pikiran Lutfi dirasuki oleh ide makan soto diseberang jalan, karena ide tersebut dianggap cemerlang maka tiga orang temanya setuju untuk makan Soto.
“Soto pak, empat”
“Iya, tunggu sebentar” kata pedagang tersebut.
Setelah menunggu hamper lima menit, ayam goring, telur rebus yang dipotong kecil bumbu koya menutupi nasi dan soto siap disantap oleh empat sekawan tersebut.
“Pak ada cabe rawit, nggak?” pinta Adi
“Tunggu sebentar dek”
“Pak, harga kerupuk ini berapa?” Tanya Lutfi.
“Ini cabenya dan kerupuknya satu, 500 rupiah. Satu-satu ya, ngomongnya”
“Galak nih” sahut Erdi, penjual soto itu hanya senyum terpaksa.
Saat mereka berempat sedang menikmati sotonya, mereka dibuat heran dengan sosok pria kurus sedang marah diseberang jalan sana. Entah marah pada siapa, mereka berempat tanpa mengomentari kejadian tersebut karena melihat penampilan dan tampang pria yang marah-marah sambil berteriak itu sepertinya orang tidak waras. Rambutnya acak-acakan tanda tidak pernah tersentuh air apalagi shampoo. Bajunya kusam tanda bahwa orang itu tidak pernah ganti baju. Gembel banget.
Setelah membayar semua, mereka berempat kembali pulang ke rumah om Karman dengan berjalan kaki. Rumah om Karman adalah tempat persinggahan Faton ketika pergi ke kota Malang. Faton adalah keponakannya om Karman, sementara Adi, Erdi dan Lutfi hanya pengikut saja. Mereka sangat akrab dengan om Karman karena faton sering megajak mereka bertiga kerumah pamanya itu. Kadang mereka berempat kerumah om Karman diakhir pecan, setiap sabtu sore mereka pulang ke rumahnya di Kepanjen kawasan Malang selatan. Dalam sebulan mereka bisa sampai satu sampai dua kali kerumah om Karman.
Sejak kelas satu SMA mereka berteman hingga sekarang sampai satu sekolah menyebut mereka Boy Band School oleh teman-temannya karena selain tampan mereka selalu kompak dalam bernyanyi ketika ada Pensi di sekolah ataupun dalam kegiatan lain. Pokoknya mereka School Idol deh, kata sisiwi-siswi.
Saat mereka asyik berjalan menuju rumah om Karman jam sebelas malam tiba-tiba ada seorang pria memanggil, ternyata pria yang memanggil meraka adalah pria yang menakutkan dan menjijikan.
“Saya?” tanya Erdi menanggapi panggilan orang yang yang memanggilnya itu.
Sebelum mendekati pemuda itu Faton memberi tahu pada teman-temannya.
“Kata om Karman, nama orang itu Abeng, pria itu agak tidak waras”
“Diakan pria tadi yang marah-marah saat kita makan soto!” sahut Adi
“Kalian dengar nggak? kesini cepat” pria itu kembali memanggil.
“Maaf bang, kita mau pulang. Sudah malam” Adi mencoba memberi alasan karena malas meladeni orang yang sakit jiwa.
“Kalian tinggal dimana?” tanya Abeng yang akhrinya dia sendiri yang mendekat.
“Tinggal dirumah om Karman” jawab Faton.
“Sekarang aku punya masalah, aku butuh bentuan kalian. Minta uangnya 200 ribu besok  pagi saya ganti” paksa Abeng.
“Dasar orang Gila’ bisik Adi pada Erdi.
“Kita tidak punya uang” tambah Erdi seperti membentak.
“Oh, kalian nggak punya uang? Bohong!” Abeng juga sedikit emosi.
“Oke, kami akan ambil uang. Kamu tunggu disini” Adi berusaha membohongi Abeng, agar bisa dengan cepat kabur dari cegatan Abeng yang Oon itu.
Tetapi yang dilakukan Abeng malah brutal, dia merampas HP Lutfi yang baru saja dibeli seminggu yang lalu, Hp milik Lutfi itu adalah type terbaru saat ini.
“Oke…oke…saya akan beri kamu uang asalkan Hp itu cepat kembalikan” kali ini Erdi merasa khawatir Hp milik Lutfi tidak dikembalikan, kedua Abeng mengeluarkan sebilah pisau kecil dari pinggangnya setelah merampas Hp tersebut.
Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada malam yang sepi itu Erdi dan Faton pergi ke rumah om Karman dengan alasan mengambil uang sementara Adi dan Lutfi masih berdiam ditempat itu untuk mengawasi Abeng agar tidak kabur.
Akhirnya Faton dan Erdi berhasil mengumpulkan uang sebesar 150 ribu sebagai umpanan pada Abeng.
“Ton, kamu bawa batu untuk jaga-jaga”
“Batu?”
“Iya, cepat cari dibelakang sana” akhirnya menemukan batu yang cukup besar.
Saat mereka sedang sibuk sendiri tiba-tiba om Karman muncul dari kamarnya sambil bertanya kapada Faton dan Erdi yang ada diruang tengah. Mereka berdua menceritakan kejadian sebenarnya pada om Karman, namun mereka merahasiakan kalau Abeng mengeluarkan sebilah pisau karena menurutnya tidak mau merepotkan dan bercampur dalam masalah ini. Meereka mau menyelesaikan sendiri, apalagi dia hanya sebagai tamu diwilayah itu.
“Hati-hati saja, Abeng itu gila” ujar om Karman.
“Iya om, kita pasti bisa” kata Erdi
“Masa kalian kalah dengan orang gila sendirian. Kalian berempat, waras lagi”

Mereka berdua menuju jalan raya dimana Adi dan Lutfi menunggu cemas sementara Abeng berdiam dengan ketidakwarasannya. Rumah om Karman berjarak sekitar 20 meter dari jalan raya, ketika berada dimuka gang, Faton dan Erdi terkejut saat melihat Abeng tertawa terbahak-bahak sambil mengisap rokok.
Mereka berdua menghampiri Adi dan Lutfi yang ternyata Hp itu sudah ditangannya.
“Hem, dasar Oon!” kata Erdi.
“Ayo kita pulang” ajak Erdi pada Adi dan Lutfi.
“Maksih ya dek rokoknya. Besok-besok kesini lagi atau singgah ke rumah didepan wartel itu” ujar Abeng seolah tidak pernah terjadi apa-apa karena ketikwaranya itu dia menjadi sedikit tenang.
Adi, Lurfi, Faton dan Erdi segera pulang kerumahnya om Karman karena sudah larut malam.
“Untung tadi Adi mengeluarkan rokok” cerita Lutfi pada kedua temannya.
“Kok bisa begitu?” tanya Erdi penasaran. Kemudian Adi menjawab.
“Begini, ketika kalian pergi, aku mengeluarkan rokok terus Abeng minta satu batang, ya…aku kasi dua batang. Kemudian Hp Lutfi diletakan disampingnya…”
“Aku ambil deh! Dikira akan marah ternyata dia ketawa ngakak” potong Lutfi. Mereka berempat tertawa dengan tingkah Abeng yang sakit jiwa itu.
“Dek, rokoknya habis. Mana uangnya?”
Mereka berempat terkejut melihat Abeng bersuara debelakngnya.
“Ini, aku punya rokok ambil semua. Uangnya kami ambil dulu” komentar Adi.
Tatapan Abeng tampak lain, pria jangkung itu seperti singa yang akan menerkam anak rusa, matanya merah. Dengan berani Lutfi menyerahkan rokok dari Adi itu pada Abeng walaupun dengan rasa gugup. Adi danToni mundur selangkah untuk siap-siap lari sedangkan Erdi masih diposisi semula.
Rokok dari Lutfi sudah ditangan Abeng, kemudian pria berkulit gelap tak waras tersebut menarik tangan Lutfi dan mengeluarkan pisau dari pinggangnya. Menyaksikan reaksi bahaya itu, Erdi berusaha menolong Lutfi namun kalah cepat, Lutfi sudah terluka terkena jilatan pisau Abeng. Lengan Lutfi berdarah oleh goresan pisau lelaki gila itu segara ditolong oleh Adi dan Faton sementara Erdi mengejar Abeng yang berusaha lari sambil memgang sebuah batu yang tadi dibawanya.
Abengterus berlari sekencang-kencangnya sementara Erdi berusaha melemparkan batu yang ditangannya pada Abeng. Saat dalam pengejaran dipinggir jalan Abeng berbelok dan menyebrangi jalan sambil terus berlari, tubuhnya terhempas ditabrak truk pengangkut semen. Aneh memang ternyata Abeng bangkit dan kembali berlari sekencang-kencangnya dengan sebungkus rokok yang masih ditangannya, pria sinting itu tidak mengalami sedikit luka atau cedera pada tubuhnya meski ditabrak oleh truk yang sedang melaju.  Erdi, Adi, Faton, Lutfi serta sopir truk dibuat takjub atas peristiwa yang baru saja terjadi pada Abeng.

0 komentar:

Posting Komentar