Selasa, 19 Oktober 2010 | By: Rahman Raden

Temui Aku


Cerpen: Bayangan tidak lagi memanjang menandakan matahari pagi mulai beranjak tinggi. Nuansa dingin masih sangat terasa karena kemarin sore hujan sangat lebat turun, namun tidak menyurutkan semangatku untuk bangun dari tidur untuk mandi apalagi jika mendengar suara mangkok ditabuh dengan sendok masuk ke komplek, bertanda mang Udin sudah melancarkan aksinya berjualan yang setiap pagi ia lakukan.
            Aku menampakkan wajahku di muka teras sambil memanggil mang Udin untuk mendekat dan mengutarakan niatku dan mang Udin seketika itu juga mengambil suduk panjang dan mangkok untuk mengambil bubur kacang hijau pesananku, walaupun bulan tak lagi muda tetapi tidak ada masalah yang penting lunas di awal bulan.
            “Gimana, siapa namanya?” tanya mang Udin
            “Sudah, namanya Tiara, aku juga punya nomor Hpnya juga”
            “Berarti, sudah dua langkah kamu maju?”
“Tentu, siapa dulu Lukman” jawabku bangga pada mang Udin.
Mau tahu apa yang aku bicarakan dengan mang Udin? adalah Tiara yang setiap pagi aku selalu bertemu dengannya saat aku berangkat atau pulang dari kuliah. Gadis itu selalu membuat aku penasaran dan bawaannya selalu berkesan walau aku tidak pernah berduaan dengannya.
“Terima kasih mang”
“Sama-sama Boy” sahut mang Udin yang memanggil aku dengan sebutan Boy alias Boyke karena aku dianggap oleh mang Udin dan teman-teman berpotensi menjadi seksolog seperti dr. Boyke walau aku adalah seorang mahasiswa Hukum.
Setelah sarapan buburnya mang Udin dengan status ngutang, aku segera berangkat kuliah meleawti gang sempitdiantara pemukiman padat warga, aku tetap enjoy berjalan kaki apalgi ditambah hadirnya Tiara yang setiap hari bertemu saat saat aku kekampus, maklum nampaknya Tiara lebih asyik menghabiskan waktu di teras rumahnya berteman dengan majalah-majalah wanita.
Oh iya, aku lupa menceritakan mengapa aku lewat gang sempit setiap berangkat dan pulang dari kampus. Begini, Fakultas Hukum adalah jurusan yang aku pilih, kebetulan komplek Fakultas Hukum berada paling utara atau paling pojok dari semua jurusan yang ada dikampus. Jika aku lewat jalan raya, aku harus sama seperti pengguna jalan itu ialah melawan macet yang cukup lama, terus ditambah lampu merah dan gerbang kampusku yang ada di selatan. Sebenarnya kampusku memiliki dua gerbang masuk yaitubagian selatan dan utara, jadi gerbang utara ditutup pada jam-jam sibuk karena possisinya dekat dengan persimpangan jalan dan menambah kemacetan yang terjadi di jalan terutama pada pagi hari.
Kalau lewat gang sempit diantara pemukiman padat tersebut aku bisa menghenat  waktu. Jarak tempuh dari lokasi tempat aku Indekos yaitu 10 menit perjalanan bonus jalann yang teduh, biarpun padat warga masih peduli pada Global Warming, badan sehat karena jalan kaki plus bertemu dengan Tiara. Jika berangkat kuliah melewati jalan raya bisa ditempuh antara 20-30 menit karena kondisi jalan yang macet.
Kembali ke persoalan Tiara. Sifat murah senyum, cantik dan tampak sebagai gadis yang sederhana hingga membuat aku terpesona pada pandangan pertama. Mungkin aku sedang jatuh C…..? Lebay.
Kuayunkan kakiku setapak demi setapak digang itu dengan sedikit kencang. Kurang dari tiga rumah tempat Tiara bertahta, aku mengurangi kecepatan langkahku, maklum aja aku adalah  P3 (Pria Penebar Pesona) wajahku mengkerut karena pagi itu, ada sesuatu yang hambar karena Tiara tidak nampak lagi duduk santai diteras rumahnya.
“Nanti pulang kuliah pasti ketemu lagi” aku mencoba menghibur diri. Akhirnya aku menambah kecepatan langkahku menuju kampus tercinta.
Dikampus aku telihat bermenung diri membayangkan kembali kejadian saat aku berhasil mengajaknya bicara cukup lama hingga saling menukar nomor Handphone. Sedikit menyesal karena tidak punya nomornya. Pertanyaannya, kemana perginya Tiara kok, pagi tadi dia tidak muncul diteras rumahnya? Mungkin kepasar atau keluar kota jawab batinku.
“Hai Boy kok sepi, maksudnya kok diem aja” tanya Feri memecahkan lamunanku.
“Sial, lu Jang. Kaget tau”
“Gimana misinya, sukses?” Feri bertanya soal Tiara
“Sukses” jawbku singkat.
“Tetapi dikau masih bermuram durja” Feri kembali bertanya gaya penyair kondang.
“Tadi sewaktu aku berangkat kuliah, dia tidak nampak lagi duduk diteras seperti biasa”
“Lukman…Lukman… jadi cuma itu masalahnya?” mendengar pertanyaan Feri aku hanya diam tanpa menjawab reaksi.
Memang saat ini aku benat-benar tidak berlebihan, sejak bertemu dan kenal dengan Tiara aku dibuat kepikiran, sesalu ingin bertemu setiap waktu dan sejuta gejolak lainnya. Padahal aku sudah tujuh kali pacaran sejak SMP tapi baru kali ini aku merasakan sesuatu yang beda pada Tiara. Sekali lagi aku benar-benar tidak berlebihan apa yang aku alami sekarang, itulah adanya.
“Kamu sudah menghubungi atau belum?” Feri kembali bertanya
“Sudah, tetapi tidak aktif”
“Coba aja lagi, siapa tahu kali ini nomornya aktif” perintah feri padaku.
Aku mengambil Handphone-ku dikantong celana dan mencoba menghubungi Tiara kembali.
Nomor yang anda tuju dedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan” tiba-tiba operator seluler menyambitnya, dicoba lagi ternyata benar tidak aktif nomornya.

***
Malam makin gelap pekat, jangkrik tak lagi berbunyi hanya jarum detik jam yang tiada henti berbunyi malam membawaku pada jam satu dini hari. Tubuhku terbaring diatas kasur sementara pikiranku jauh melayang. Usaha untuk menghubungi nomor ponselnya Tiara tidak lagi aktif.
Bilang cinta saja belum tetapi aku lebih banyak kepikiran sama Tiara, seandainya aku ditakdirkan menjadi miliknya maka dia tidak akan pernah aku sakiti atau melukai.
“Tiara…dimana dikau sekarang berada” lirihku.
Aku beranjak dari kasur untuk membuka pintu yang digedor.
“Bangun, sudah siang” ternyata Feri sedang memasang mukanya didepan pintu.
“Ini sudah bangun”
“Bangun sih, bangun tapi coba lihat sudah siang tu, semalam kamu tidur jam berapa?”
“Setengah dua pagi” jawabku setengah jengkel.
Setelah segalanya siap, aku langsung berangkat ke kampus lewat gang sempit dan berniat berjumpa dengan Tiara. Setiap kaki melangkah sesekali hatiku berucap, semoga ppagi ini aku bertemu dengan Tiara. Asa untuk bertemu dengannya tak kesampaian, rumahnya sepi, jendela dan pintunya tertutup rapat seperti kemarin. Mungkin Tiara keluar kota, bisik hatiku.
Aku singgah disebuah warung yang tidak jauh dari Rmah Tiara untuk membeli rokok. Sebenarnya hati meminta bibirku bertanya kepada pemilik warung tentang keberadaan Tiara yang sudah beberapa hari tidak terlihat, tapi aku mengurungkannya sehingga bibirku terdiam membisu.
***
Tanpa terasa sudah lima hari aku tidak bertemu dengan Tiara, jiwaku sudah terperangkap dalam bayangannya dan aku mulai bertanya dalam hatiku sendiri, kekuatan apa yang dimiliki Tiara sehingga berhasil merobohkan niatku untuk menjomblo sampai wisuda nanti.
“Tiara, belum datang?” tanya Feri.
“Belum! Apa dia sudah pindah ya?” aku balik Tanya.
“Tanya saja pada tetangganya” mang Udin menyambung.
“Cerdas, secepatnya” timpal Feri yang langsung diacungi jempol oleh mang Udin.
“Ya sudah, aku jualan dulu” kemudian mang Udin pergi dengan gerobak buburnya setelah kami membayarnya.
 Sekarang hari minggu, waktunya istirahat dan nanti sore Jogging lewat depan rumah Tiara sekalian bertanya pada tetangganya nanti sore. Seperti hari minggu sebelumnya hari ini aku akan nonton Film yang Feri sewa kemarin dirental depan. Ternyata film-film yang aku tonton tidak bisa menghilangkan kesabaranku untuk menunggu sore tiba.
Sore yang ditunggu telah tiba, Feri ikut menemaniku untuk olahraga murah ini dan sesekali terlibat omongan kecil bersama Feri.
“Boy, coba kamu lihat! Sepertinya itu Tiara”
“Yang mana Fer?”
“Itu yang turun dari mobil” Feri menunjukan arahnya.
“Iya, itu Tiara, mungkin dengan Ayahnya?” kemudian aku mencoba mendekatinya tapi dia kembali melaju dengan becak yang sudah menunggu didekatnya. Aku dan Feri mengikutinya dari belakang dengan raut wajah gembira merona.
Sampai depan rumahnya dia turun dari becak dibantu oleh ayahnya. Seperti ada bisikkan pada ditelinganya, dia menoleh kearahku. Aku melambaikan tanganku dia membalas dengan tersenyum kemudian aku meletakkan jariku membentuk telpon di pipi, dia mengangguk setuju. Sontak saja aku semakin gembira dan hamper saja mataku melewati wajahnya yang pucat pasi, seperti orang yang sedang sakit.
Malam harinya aku menghubungi Tiara, kami terlibat pembicaraan yang terasa akrab dan memberi tahuku kalau dia sedng sakit terbukti setiap pembicaraannya selalu  dibuntuti batuk, hanya saja dia tidak menjelaskan sakit yang dideritanya. Karena kondisi Tiara yang baru sembuh aku tidak berlama-lama bicara dengannya dan besok kami sepakat janjian bertemu disebuah warung sederhana dekat rumahnya.
***
Bapak Dr. Harfan Handoyo, begitu bersemangat menerangkan materi kuliah hokum perdata, hingga waktunya lewat tujuh menit. Mahasiswa lain  termasuk aku yang duduk dibelakangmulai tidak konsentrasi lagi. Dengan perasaan sebel aku ber-ehem berkali-kali, menantianku berakhir dosenku mnydahi materi siang itu. Setelah mengucapkan salam aku segera keluar dan dan pulang karena ada janji dengan Tiara siang ini.
Sedikit tergesa-gesa kupacu langkahku agar tidak terlambat. Asa tinggallah asa, akhrinya aku terlambat lima menit.
“Pak, tadi ada Tiara kesini?” tanyaku pada penjaga warung setelah aku menunggu hamper 30 menit.
“Tiara, yang rumahnya itu?” bapak itu balik Tanya sambil menunjuj rumah berwarna hijau.
“Iya” jawabku sambil dipenuhi rasa penasaran.
“Dia dibawa kerumah sakit lagi karena penyakitnya kambuh lagi. Kemarin dian pulang ternyata tadi pagi jam delapan dia bawa lagi ke dokter”
Aku setengah mati mendengar penjelasan bapak penjaga warung tersebut, kemudian aku pamitan setelah bapak itu memberitahu tempat Tiara di rawat yaitu antara RSUD dan RS Harapan Kita karena bapak tersebut tidak tahu persisi karena mendadak.
Aku segera mengambil motor ditempat kos dan segera menuju rumah sakit, rumah sakit pertama Harapan Kita yang aku kunjungi pertama karena lokasinya lebih dekat. Usahaku nihil tidak ada nama pasien bernama Tiara Wulandari yang masuk hari ini. Memperoleh informasi tersebut aku alngsung meluncur ke RSUD dan ternyata nama Tiara Wulandari terdaftar pada pasien hari ini.
“Tapi pasien ini sudah dirujuk ke Jakarta setengah jam yang lalu” kata perawat ramah.
“Sakit apa dia sus?” tanyaku sambil menahan rasa kecewa dan mencemaskan kondisinya.
“Kanker darah” jawab suster singkat.
Mendengar penyakit yang diderita Tiara tersebut aku tidak percaya, mungkinkah gadis secantik dan ramah seperti dia harus menderita penyakit mematikan itu. Tiara, semoga kamu cepat sembuh dan kita bisa bertemu diwarung yang sudah kita janjikan bersama. Langkahku sangat berat sekali, pikiranku juga terasa terbebani ribuan ton, aku baru saja ditinggalkan oleh malaikatku. 

0 komentar:

Posting Komentar