Kamis, 25 November 2010 | By: Rahman Raden

Dimana Anakku

Cerpen: Panas membakar permukaan bumi sebelah timur, debu terbag menabrak terbawa tertiup angin, meskipun panas matahari terus membakar siang itu tidak sedikitpun menyurutkan semangat Nirna menyusuri protocol mencari alamat sebuah komplek yang tertulis disebuah kertas lusuh. Peluh telah membasahi bajunya dan sesekali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan lengan hitamnya.
Rasa lelah sepertinya sudah tidak tersa lagi olehnya, yang ada diwanita tersebut hanya impian untuk segara menemui anaknya yang diadopsi oleh seorang dokter.
    Menyusuri kota Singkawang hampir empat puluh menit, Nirna menemukan alamat yang dicarinya. Setelah mencocokan alamat dan nomor rumah yang tertulis dikertas lusuhnya itu dia seperti disirami dengan air es yang sejuk karena jiwanya merasa lega. Ternyata benar inilah rumah pak Widhi, Dokter yang menangani proses kelahirannya tiga belas tahun yang lalu.
    “Maaf bu, itu betul rumah dokter Widhi?” Nirna bertanya pada seorang warga komplek itu.
“Oh, dokter Widhi sekarang sudah pidah tugas sejak tahun lalu” jawab wanita paruh baya tersebut.
“Ibu tahu dokter Widhi pindah kemana?’
“Maaf sekali, saya tidak tahu pindah kemana”
“Terima kasih bua, sudah memberitahu” pamit Nirna dengan wajah kembali murung dan mengusap bitiran air yang menumpuk dimatanya. Nirna berusaha tegar agar tidak menangis didepan wanita itu.
Impian bertemu dengan dokter Widhi yang mengambil anaknya ternyata sia-sia. Hanya harapan dan doa yang mengiringi langkahnya yang ketika itu terasa amat berat oleh penyesalan yang dipikulnya. Seandainya dia merawat anak itu mungkin dia tidak akn mengalami nasib seperti yang dia alami sekarang.
Tiga belas tahun yang lalu Nirna pernah melahirkan seorang anak laki-laki diluar nikah hasil hubungan gelap dengan pacarnya. Saat itu Nirna yang masih berusia tujuh belas tahun diusir oleh orang tuanya karena telah mencorang nama baik keluarga selain itu juga pihak sekolah juga mengeluarkan Nirna karena telah berbuat aib yang merusak citra sekolahnya.
Tidak hanya itu saja pacar atau ayah dari anak yang dikandungnya itu tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, lengkap sudah penderitaan Nirna ketika itu. Seminggu kemudian ayah Nirna meninggal dunia karena serangan jantung akibat shock dengan kehamilan anaknya Nirna. Semua keluarganya makin membenci Nirna, mereka menuduh dialah penyebab penyakit jantungnya kambu.
Karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi Nirna akhirnya lari dan mencari perlindungan dari kesendiriannya. Keputusasaan telah membawa Nirna menggantungkan hidupnya dengan menjadi seorang wanita penghuni lokalisasi. Ditempat maksiat itu Nirna menjajakan dirinya pada pria-pria hidung belang
***
Suara tangis memecah malam yang sepi, gurat muka kusam menghiasi wajahnya saat seorang bayi laki-laki lahir dari rahimnya disebuah rumah sakit kota Singkawang. Nirna melahirkan bayinya dirumah sakit karena dukun kampung yang ada disekitar lokalisasi tempat Nirna bekerja sudah tidak bisa menangani proses kelahirannya.
Karena biaya rumah sakit yang mahal dan belum ada kesiapan pada Nirna yang masih begitu muda untuk mengasuh bayinya itu akhirnya Nirna menyerahkan anak tersebut pada seorang dokter bernama Widhi Wicaksono.
Kejadian itu terjadi pada tiga belas tahun yang lalu saat Nirna melahirkan anaknya. Sekarang dia sudah bertaubat dan kembali ke jalan Allah setelah bertahun-tahun mengalami suka  dan duka menjadi penghuni rumah border sebagai kupu-kupu malam. Setelah Nirna berhenti menjadi pelacur kini dia mulai bekerja dipekerjaan yang halal. Sedikit-demi sedikit dia menabung untuk membayar kontrakan rumanhnya dan biaya kehidupan bersama anaknya jika sudah ditemukan.
Nirna terus mencari dokter Widhi disetiap rumah sakit di kota Singkawang untuk segera bertemu dengan anaknya. Berbagai kesulitan selama masa pencarian akhirnya dia memperoleh kabar tentang dokter Widhi. Pencarian belum berakhir karena dokter Widhi ssudah pindak kesbuah rumah sakit di Kota Pontianak. Nirna pun berangkat mencari dokter Widhi dengan alamat rumahnya yang telah diberikan oleh pihak rumah sakit.
Dengan uang hasil tabungannya Nirna berangkat ke Pontianak dengan sebuah bus. Selama perjalanan dia tampak gusar karena dia tidak pernah tau tentang kota itu. Ia belum pernah ke kota tersebut, wajar saja dia tampak kebingungan sekali selama dalam perjalanan.
Sesampainya diterminal bus kota pontianak Nirna seperti orang yang sesat dalam sebuah hutan lebat. Nirna akhirnya bertanya pada orang diterminal alamat yang dia bawa.
“Kalau jalan pulau intan, masih jauh dari sini”
“Kira-kira saya harus naik apa pak” Tanya Nirna cemas.
“begini saja, Ibu naik oplet jurusan sungai Jawi, nanti setelah opletnya tiba diterminal ibu tanya saja pada orang disana. Pasti semua orang tau alamat yang dicari ibu, mari ibu saya antar untuk naik oplet” saran orang yang baik tersebut.
“Terima kasih ya pak” ujar Nirna pada pria tersebut setelah masuk ke oplet.
“Sama-sama bu” yang kemudian orang itu berlalu pamit.
Setelah sampai diteminal oplet yang tadi dia tumpangi, Nirna langsung melepaskan penatnya untuk mencari warung untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Setelah makan siangnya selesai Nirna langsung melakukan pencarian alamat dokter Widhi dengan bertanya pada pemilik warung nasi itu.
Akhirnya pemilik orang warung nasi tersebut disarankan untuk naik oplet kembali jurusan Ayani Pontianak Selatan. Nirna pun mengikuti petunjuk yang telah diterimanya, selama perjalanan Nirna terus komat-kamit membaca doa agar dia tidak tersesat dan segera bertemu dengan anaknya yang sekarang diasuh oleh dokter Widhi.
Sopir menurunkan Nirna disebuah alamat yang dicarinya. Setelah dia turun dan membayar ongkosnya mata Nirna langsung tertuju pada sebuah komplek perumahan.
“Itu dia komplek perumahan tempat dokter Widhi tinggal” lirih Nirna sambil mengusap keringat diwajahnya yang kusam bercampur debu yang terus terbang terbawa angin.
Nirna segera turun dari ruas trotoar untuk menyeberang karena kompleks tempat dokter Widhi ada di sisi kanan jalan. Rasa menyertai langkahnya tetapi Dewi Fortuna tidak mengikutinya, akhirnya tubuh kurus Nirna terjembab keaspal kerana ditabrak oleh sebuah mobil sedan. Setelah itu Nirna tidak ingat apa-apa, wanita itu pingsa.

***
    Lima jam kemudian Nirna siuman dan sudah mendapati dirinya terbaring disebuah ruang serba putih tangan dan kakinya dibaluti dengan perban.
“Suster, aku tidak mau disini aku ingin mencari anak saya” berontak Nirna sambil berusaha untuk bangun nanun usahanya dicegah oleh dua suster yang ada didekatnya.
“Ibu harus tenang, ibu jangan khawatir karena ibu tidak mengalami luka serius” 
“Tidak mau…aku harus mencari anakku” teriak Nirna
“Tenang bu….tenang…” saran sang suster.
Nirna menangis sejadi-jadinya dirumah sakit, dia bingung dengan keadaanya sekarang yang tidak punya siapa-siapa lagi. Terbesit dihatinya mengapa dia tidak mati saja dalam kecelakaan itu. Karena dia merasa cukup berat mengalami cobaan selama hidupnya.
“Suster disini aku tidak punya siapa-siapa, aku tidak punya biaya untuk pengobatan disini”
“Ibu harus banyak istirahat, soal biaya perawatan selama di rumah sakit ada yang telah bibayar oleh orang yang menabrak ibu. Sekarang ibu harus minum obat secara tetatur agar cepat sembuh sakitnya” ujar seorang suster ramah.
  Dua orang suster tadi akhirnya keluar dari ruang perawatannya Nirna, setelah lima menit kemudian ada sebuah keluarga yang menjenguk Nirna.
“Ini loh pa, yang ditabrak pak Karmin tadi siang” mendengar ucapan anak tadi Nirna terbangun dari lamunannya.
“O…! Ibu kami sekeluarga minta maaf karena kelalaian sopir kami ibu bisa terbaring disini” kata seorang auah dari anak itu.
“Maaf bu, tadi saya terlalu kencang mengemudi mobil” kata seorang pria tua yang berdiri disampingnya. Nirna menatap wajah sopir tersebut tanpa berkomentar.
Ayah dari anak tadi duduk didekat Nirna bersama istrinya. Saat pria itu duduk didekatnya sambil meletakan buah-buahan diatas meja. Nirna dibuat terkejut dengan wajah didepannya itu, Nirna memangdangnya lekat-lakat.
“Kalau boleh tahu, nama bapak siapa?” tanya Nirna yang sejak tadi terdiam.
“Memangnya kenapa?” Tanya sang istri heran.
“Nama saya, Widhi Wicaksono” mendengar jawaban itu kembali bertanya lagi agar tidak salah orang walaupun dihatinya sudah yakin kalau pria itu yang mengadopsi amaknya.
“Betul bapak seorang dokter?”
“Ya, suami saya seorang dokter” istrinya yang kembali menjawab.
“Dari mana ibu tahu kalau saya seorang dokter?”
“Masuh ingat dokter sama saya? Aku Nirna Arifah, yang tiga belas tahun lalu aku melahirkan seorang bayi laki-laki”
“Nirna… Gadis itu… Sekarang engkau?” tanya pria itu tak percaya.
“Iya, aku Nirna. Kedatanganku ke kota ini ingin mencari bapak untuk bertemu dengan…..” sebalum Nirna menyelesaikan pembicaraanya tiba-tiba istrinya memotong.
“Pak Karmin, tolong ajak Ferdian bermain keluar. Sayang kamu keluar dulu ya!” perintahnya pada sopir dan anaknya.
“Aku ingin bertemu dengan anakku” lanjut Nirna sambil menangis.
Akhirnya Nirna bertemu juga dengan dokter Widhi, sedangkan anak kecil tadi adalah anaknya Nirna. Dokter Widhi bersama istrinya juga ikut menangis mendengar perjuangan Nirna dalam mencari anak dan mereka. Nirna meminta maaf pada dokter Widhi dan istrinya karena baru sekarang dia mencarinya. Ada rasa bersalah karena yang membesarkan dan merawatnya anaknya itu bukan dirinya tetapi keluarga Widhi.
Dokter Widhi belum bisa membarikan solusi tentang hak asuh anak itu sekarang karena harus menunggu Nirna sembuh atau keluar dari rumah sakit. Sementara istrinya menagis karena tidak ingi kehilangan anak yang sudah  dirawatnya sejak kecil hingga tumbuh besar. Walaupun anak yang bernama Ifqi tersebut bukan anaknya tetapi dia seperti anaknya sendiri.
Untuk sementara masalah ini masih dirahasiakan, walaupun Nirna tetap ingin mengambil anaknya.  Saat ini dikeluarga doker Widhi terdapat tiga orang anak, yang tertua adalah Ifqi dari dua orang anak kandungnya sendiri. Meraka bertiga selama ini menyangka mereka saudar sekandung karena dokter Widhi tidak pernah bercerita sedikitpun.

***
    Keputusan yang diambil oleh dokter Widhi sangat bijak, yaitu Nirna diizinkan tinggal dirumahnya untuk mengurusi anak kandung Nirna dan dua orang anak kandung dokter Widhi. Keputusan yang diambil oleh dikter Widhi dengan isstrinya membuat Nirna sangat bahagia.
“Ifqi, mulai sekarang kamu jangan memnggil bibi lagi pada bibi Nirna tetapi kamu harus memanggil Ibu” tegas Dokter Widhi.
“Kenapa pa, terus Rio dan Bayu juga memanggil Ibu?” tanya Ifqi sambil menyebut dua nama adiknya yang merupakan asli anak kandung dokter Widhi.
“Ya…karna mulai sekarang ibu Nirna tinggal disini untuk megurus dan menjaga rumah ini termasuk menjaga kamu ketika papa dan mama kerja” dokter Widhi cobe menjelaskan.
“Jadi, dirumah ini Ifqi punya dua orang Bunda. Satu mama yang kedua bibi Nirna, eh salah ibu”
Jiwa Nirna dialiri rasa bagia yang teramat sangat, dia terus berdoa atas kebaikan yang diberikan padanya oleh keluarga dokter Widhi.
“Suatu saat Ifqi, akan tahu kalu kamu ibu kandungnya” janji dikter Widhi pada Nirna ketika itu.  

0 komentar:

Posting Komentar