Senin, 15 November 2010 | By: Rahman Raden

Perjalanan Di Pantura


Cerpen: Terminal Bungurasih kota Surabaya pagi itu tampak ramai sekali oleh calon penumpang, pedagang, sopir dan para makelar yang sibuk merebut penumpang. Dengan langkah gontai, aku memeasuki kawasan terminal. Rasa rindu pada keluarga di rumah membuntutiku, maklum saja karena lebaran tahun kemarin aku tidak pulang dan aku memilih tinggal dirumah nenek yang kebetulan dekat dengan kampusku.
“Terima kasih” kata petugas peron ramah saat aku memberikan uang 1000 rupiah.
     Kemudian aku menuju lorong tempat pemberangkatan bus. Disana aku harus berhadapan dengan para makelar.
    “Mas…mas mau kemana? ke Semarang” Tanya seorang pria sambil menarik tanganku.
“Banyuwangi” kemudian orang tersebut melepas tangannku.
“Kemana dek? ayo jurusan Malang langsung berangkat” Tanya seorang pria dengan wajah sangar menghampiriku sambil memegang tanganku.
“Saya mau ke Banyuwangi pak” pegangannya dilepaskan.
Serbuan tukang calo memang membuat para calon penumpang termasuk saya yang ketika itu dikerubutu oleh pria sampai tujuh orang jumlahnya dengan pertanyaan kemana arah tujuan saya.
“Iki loh kate neng Banyuwangi” kata seorang calo pada temannya.
“Banyuwangi mas?”
“ Iya pak”
“Ayo mas, langsung, ber AC tarif biasa” akupun mengikuti orang itu sebagai tanda setuju.
Akhirnya aku menemukan bus yang murah dengan fasilitas AC. Kemudian aku langsung duduk di kursi belakang sopir, memang cukup beralasan aku mengambil duduk didepan belangan sopir. Pertama kalau duduk dibelakang guncangannya lebih keras dibanding kursi depan kedua bisa meminimalisir kemungkinan mabuk perjalanan. Memang itu teori yang kadang meleset, tetapi tidak ada salahnya mencoba alasan tersebut karena kita tidak tau apa yang akan terjadi nanti.
Serbuan makelar bus antar kota dalam dan luar provinsi membuat aku mengalami sedikit kelalahan, namun aku harus segera beranjak karena aku mau ke toilet. Lihat jam, oh masih 20 menit lagi bus akan berangkat, bisikku dalam hati. Selasai dari toilet aku berniat membeli minuman mineral sebelum menuju bus yang akan aku tumpangi.
“Cope….ee…eettt” teriakku lantang.
Semua pasang mata dan tanpa pikir panjang aku mengambil batu dan melemparkannya. Lemparan yang indah, kepalanya bocor terkena lemparan batu. Maklum aku paling jago main tolak peluru di olah raga ketika aku SMA. Aku berlari menyelamatkan dompet yang dirampas copet sialan itu. Orang-orang membawanya ke pos polisi yang ada diterminal.
 “Maaf, anda ikut kami dulu ke kantor” kata seorang Polisi mengajakku.
“Tapi pak, pencopetnya sudah ketangkap. Lagian aku mau cepat-cepat pulang”
“Maaf ya, ini demi kepentingan penyelidikan. Anda hanya sebagai saksi”
Acara pulangku harus diundur. Setelah sampai dikantor Polisi Kota Besar Surabaya, aku dijadikan saksi sekaligus korban pencopetan. Bersama Bapak Poltabes Surabaya aku dihadapkan dengan wartawan untuk melakukan jumpa pers. Para wartawan media cetak, radio, televisi local dan nasional berbaris didepanku yang duduk bersama staf kepolisian yang lain. Memang tidak berlebihan karena aku berhasil menaklukan lebih dari seorang pencopet, karena orang tersebut adalah anggota sindikat maling professional yang sering membobol ATM Bank di jawa timur. Setelah semua dianggap[ selesai aku segera diantar oleh seorang anggota polisi keterminal untuk segera pulang ke Banyuwangi karena rasa rindu pada keluarga sudah tidak bisa di tahan.
***
“Es jolli… tahu… telur puyuh…kacang dek?… ”aku terbangun oleh suara pedagang asongan yang berjualan dalam bus yang menawarkan berbagai minuman dan makana ringan.
Sudah sampai diterminal kota Probolinggo. Jarum jam berada diposisi sembilan lewat tiga puluh menit, perut mulai keroncongan memintaku untuk segera membeli makanan padat. Tasku digendong dan menuruti permintaan perut dengan mencari warung nasi disekitar terminal.
“Makan apa dek?”
“Anu bu, mmm…Nasi ayam, minumnya teh es aja” kemudian aku meletakkan tasku diatas meja. Tidak sampai lima menit satu porsi nasi dan minumannya sudah tersaji didepanku.
“Bu, nasi gorengnya ada nggak?” suara seorang gadis cantik mencuri perhatianku, gadis cantik tersebut duduk disebelahku. Aku yang punya tampang kern walaupun tidak sekern Justin Timberlake tetapi lumayan mirip Doni Ada band mencoba menawari makan walau sekedar basa-basi.
“Mari Mangan” ajakku.
“Terima kasih!” jawabnya singkat seraca tersenyum tipis seperti dibumbuhi gula, manis sekali.
Kemudian seorang pramisaji dating membawa nasi goring pesanannya. Gadis itu menyantapnya disusul aku yang terlebih dahulu makan.
“Dewean?” tanyaku menggunakan bahasa Jawa
“Iya”
“Adek kate nangdhi?”
“Situbondo. Maaf ya, kok bahasanya jawa? Pakai bahasa Nasional dong!”
“Maaf, kalo nggak suka pake bahasa Jawa. Guru bahasa Indonesia ya?”
“Enak aja”
Gadis itu memang dari Situbondo, sebuah daerah pantura di Jawa Timur. Walau mereka dibilang hidup dan lama tinggal dijawa kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Jawa, keseharian mereka lebih banyak menggunakan bahasa madura halus. Berbeda dengan Banyuwangi yang menggunakan bahasa jawa dialek Using yang berbeda dengan bahasa jawa pada umumnya.
Tidak lama setelah menyantap nasi, petugas terminal mengumumkan keberangkatan bus jurusan Banyuwangi jalur Situbondo.
“Aku mau ke Banyuwangi, ayo kita sekalian aja bareng” pintaku pada gadis yang sempat berkenalan bernama Novia. Sesaat kemudian kami berdua ke kasir
“Berapa Mbak se…. ?”
“Nggak usah biar aku aja yang bayar. Mbak ini aku yang bayar”
“Terima kasih ya!”
“Mmm…nasi goring, ayam , es jeruk dan es teh, rempeyek 2 bungkus. Dua pulih empat ribu” kata mbak kasir itu setelah menjumlah semua yang kami pesan.
“Terima kasih ya, Cak Adi sudah bayarin” Novia kembali berterima kasih padaku dengan.
“Iya, sama-sama” ujarku singkat. Ternyata Novia memanggilku Cak Adi. Cak adalah sapaan untuk lelaki Jawa yang lebih tua atau lebih popular dengan sebutan Abang.
Aku dan Novia duduk satu bangku. Tak lama bus berangkat, aku larut dalam perbincangan dengan Novia. Siapa dulu Adi gitu loh! Gumamku bangga.
 Sekitar dua puluh menit sejak keberangkatan bus, aku mencoba mengajak Novia menukar nomor Handphone. Tetapi…
“Ya ampun tasku!”
“Kenapa cak dengan tasnya” Tanya Novia penuh heran.
“Tasku ketinggalan diwarung nasi tadi. Pak, stop Pak, stop!” teriaku pada pak sopir agar aku segera diturunkan dari bus yang sudah jauh meninggalkan terminal Kota Probolinggo.
Pikun…pikun…, gara-gara terlalu caper sama Novia sampai-sampai tasku ketinggalan, sialan. Berontak batinku dengan kejengkelan yang amat sangat. Kamera digital, Handycame, I Pode dan semua  minta tolong kepadaku. Gawat kalau sampai tasku hilang, pikirku yang berkecamuk tidak karuan.
Dibawah terik matahari jam setengah satu siang, aku menunggu angkot. Akhirnya muncul ankot tujuan terminal setelah hamper sepuluh menit menunggu dibawah pohon mangga depan kantor kecamatan Paiton kabupaten Probolinggo. Perasaanku semakin gelisah ketika sopir terlalu sering berhenti menurunkan dan menaikan penumpang. Mobil berjenis mini bus itu penuh sesak dicampur aroma keringat penumpang yang menumpuk dihidungku. Apek dan kecut. Saat mobil memasuki kota probolinggo emosiku mulai bisa terkontrol. Mobil melaju kencang hingga akhirnya tersendat-sendat dan dugaanku tidak salah kali ini.
“Maaf, ban mobilnya bocor” kata sopir tiba-tiba.
“Uu…uuu…. Gimana nih? Nggak becus! ” kata sebagian penumpang sambil turun dengan wajah mengkerut.
“Terminal masih jauh pak?”
“Ya, nggak sih dek mungkin lima ratus meteran gitu” jawab sang sopir ketika aku bertanya.
Tapi demit tas itu, aku rela berjalan kaki karena kalau menunggu angkot itu atau menunggu angkot lain pasti butuh waktu yang lama. Sedikit berlari dibawah panas musim kemarau menuju terminal menyelamatkan tas yang berisi barang berharga.
Kalau seandainya perjalananku lancar sejak tadi pagi mungkin bus yang aku tumpangi sudah sampai dikawasan Taman Nasional Baluran, tetapi malang aku masih berada di kota Probilinggo artinya masih sekitar 190 km lagi sampai kerumah di kabupaten Banyuwangi yang masih melewati satu kabupaten lagi yaitu Situbondo.
***

 Sekarang jam dua siang lima menit lagi bus akan berangkat, aku masih terus bersyukur Alhamdulillah karena tas beserta barang-barangnya tidak ada yang hilang karena berkat jasa baik sang pemilik warung yang menyimpannya dengan baik.
“Mau beli kerupuk udang, Mas.” Seorang pedagang asongan menawakan dagangannya..
“Tapi kalau Mas kehausan ini ada es jeruk, Cuma 1000 rupiah” tawarnya lagi
Tanpa banyak cing-cong akhirnya aku membeli es kesukaanku itu.
Setelah pedangan tadi pergi tiba-tiba datang seorang penjual Koran.
“Koran mas, cuma dua belas ribu” ujarnya sambil membuka sedikit halaman koran yang dijualnya.
“Gimana bangsa ini mau maju kalau jual VCD Porno, sampai disisipkan ke dalam lipatan koran begitu” aku mencoba berkomentar.
“Eh mas, kalau nggak mau beli jangan ngomong sembarangan” ujarnya sambil melotot tajam.
“Aku mau beli korannya mungkin seribu rupiah tanpa perlu bonus film Porno”
“Jancok kon….” Sambil mengarahkan tinjuan kemukaku.
“Sudah jangan bertengkar” lerai seorang penumpang dalam pertengkaran kecil kami. Berkat leraian penumpang itu mukaku selamat dari bogem mentah yang ditujukan oleh pedagang sialan tersebut.
“Awass…ya!” pedagang koran plus-plus itu berlalu sambil mengancam.
“sabar saja dek, itu sudah biasa orang-orang terminal itu keras kepala walau tidak semuanya” terang bapak yang menolongku tadi.
Bus jurusan Banyuwangi berangkat dan aku menikmati perjalananku dengan tidur karena aku lelah sekali dengan perjalanan yang aku alami sekarang karena banyak sekali rintangannya mulai kecopetan sampai tadi nyaris bertengkar dengan orang terminal.
“Dek, ongkosnya!” seorang kondektur membangunkan aku meminta ongkos.
“Banyuwangi” ujarku sambil menyodorkan uang 50 ribu rupiah, kemudian selembar karcis dan uang kembalian yang tidak tahu berapa jumlahnya diberikan sang kondektur padaku. Aku masukan dalam dompet dan melanjutkan tidur. We go to Banyuwangi.
Aku terbangun karena mendengar suara jeritan yang mengerikan memekakan telinga menusuk gendang telingaku. Aku sudah mendapati bus yang aku tumpangi sudah dalam keadaan diam karena menabrak pohon asam dipinggir jalan. Aku tidak berteriak hanya diam kebingungan walau badanku tidak mengalami luka sedikitpun, kepalaku hanay sedikit pusing karena terbentur kursi didepanku. Sementara sopirnya berusaha ditolong oleh kondektur yang tergencet serta luka dikepala yang cukup parah.
Adzah magrib yang berkumandan kalah dengan suara teriakan penumpang yang panic, terutama penumpang ibu-ibu dan anak-anak yang menangis sejadi-jadinya. Seorang ibu-ibu dibelakangku menagis karena anaknya yang berumur 5 tahun terluka oleh pacahan kaca samping.
Keadaan gelap gulita sehingga aku berinisiatif mengambil HP sebagai penerangan. Saat aku nyalakan tanpa sengaja aku menemukan lokasi kejadian melalui layer handphoneku yaitu berada di kecamatan banyuputih. Setelah berdesak-desakan dan panic akhirnya aku bisa keluar dari bus naas tersebut sampai akhirnya warga datang menolong. Sebagian penumpang yang terluka segera dilarikan ke Puskesmas terdekat, sementara 7 orang yang tidak mengalami luka termasuk aku dioper dengan bus lain untuk melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan ini aku sedikit truma karena baru kali ini mengalami kecalakaan yang nyaris berurusan dengan nyawa. Tidak henti-hentinya mulutku komat-kamit membaca doa agar selamat sampai kerumah karena. Pikiranku disesaki oleh berbagai pertanyaan mengenai bermacam peristiwa yang aku alami sejak dari kota Surabaya. Mulai dari kecopetan, tas ketinggalan dan pertengkaran dengan orang diterminal sampai bus kecalakaan menbrak pohon asam saat bus menghidar dari seorang yang naik sepeda. Karena bus ngebut tanpa sengaja menyusup ke pohon asam.
***
Setelah keliling kota London sejak pagi, aku singgah direstauran tepi sungai Thames yang membelah kota London untuk makan siang. Tiupan angina sepoi telah menambah kesan indah ketika aku berada di negeri Elizabeth tersebut. Jembatan angkat atau Tower Bridge yang terkenal kokoh dan klasik di Inggris tampak mengagumkan bagi mata yang melihatnya.
Bunyi arus dan derungan kapal seperti mengalun bagai irama  lagu Beyonce yang terkesan nge-Beat. Bersama Novia dan seorang staf KBRI untuk Inggris, aku kembali melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju Greenwich (baca: Grinit) sebuah kota arah timur kota London, disana aku dan Novia akan mengunjungi gedung peneropong bintang tertua didunia serta bangunan-bangunan terkenal lainnya.
“Cak Adi, kalau kita melihat  bangunan tua yang ada di Inggris ini seperti berada dalam imajinasi J.K. Rowling”
“Maksudmu seperti negeri sihirnya Harry Potter” ujarku mengomentari pembicaraan Novia.
Hari menjelang petang, seharian jalan-jalan dikota London dan Greenwich.  Aku harus kembali ke hotel penginapan sekaligus bersiap-siap untuk perjalanan esok harinya ke kota Manchester, disana aku akan dating ke Satdion Old Trafford untuk menyaksikan duel fenomenal antara kesebelasan Setan Merah, Manchester United kontra Chelsea dalam laga semifinal Liga Inggris. Tiket pertandinganpun sudah aku pesan seminggu yang lalu.
“Dek, sudah sampai”
“Aduh… terlalu pulas tidurnya. Sudah sampai pak?” tanyaku setengan mengantuk.
“Lagi mimpi ya? Ini sudah sampai diterminal Banyuwangi” kata kondektur ramah sementara aku hanya diam karena dia telah membuyarkan mimpiku.
Setelah turun dari bus aku mencari tukang ojek untuk mengantarku pulang kerumah di kecamatan Kalipuro. Rasa rindu pada keluarga sudah memuncak, walaupun harus sampai jam sembilan malam, benar-banar perjalanan yang sangat lama sekali. Peristiwa yang aku alami selama perjalanan tadi memang menguras tenaga dan kesabaran sehingga seluruh tubuhku, mulai dari rambut muka, baju terasa acak-acakan. Satu hal lagi, perjalanan ini akan aku jadikan sebagai peristiwa yang paling aneh, unik dan menerima segala ketentuan yang telah Allah SWT berikan pada manusia. Perjalanan normal di Pantura (Pantai Utara) dengan bus Surabaya-Banyuwangi tujuh jam beda halnya pada perjalanan aku yaitu sekitar empat belas jam perjalanan.

Catatan Bahasa Jawa
Iki loh kate neng Banyuwangi: ini loh mau ke Banyuwangi
Mari Mangan: Mari makan
Dewean: sendirian
Adek kate nangdhi: Adek mau kemana
Jancok kon: Sialan kau (umpatan kasar orang Jawa ketika merasa kesal atau marah)

0 komentar:

Posting Komentar